Cerpen: Impian Wulan - SMP Negeri 12 Lhokseumawe

Breaking

Friday, January 29, 2021

Cerpen: Impian Wulan


 

IMPIAN WULAN

Suasana masih sangat sepi ketika aku melangkahkan kaki memasuki pekarangan sekolah. Kulirik jam tangan di pergelangan, ternyata baru menunjukkan pukul 07.00 WIB. Pantes masih sepi, ucapku dalam hati.

Ketika melewati taman sekolah, aku berpapasan dengan pak Kardi sang penjaga sekolah. Dia tersenyum melihatku. Pak Kardi orangnya memang sangat ramah, aku sering mengobrol dengannya.

“Pagi sekali hari ini neng,” sapanya. Aku hanya tersenyum sambil mengangguk.

“Kelihatan aneh ya pak kalau saya datang sepagi ini?” balasku.

“Ah gak juga,” sahutnya sambil mengambil bebrapa keranjang sampah yang berada di dekat kakinya. Laki-laki tua itu lantas berlalu sambil membawa keranjang sampah. Aku hanya menatapnya sekilas lalu melanjutkan langkahku menuju kelas.

Belum ada satu orang pun di kelasku. Kelas terlihat sepi dan tiba-tiba aku merinding sendiri. Ih, kok merinding sih, bathinku. Begini rupanya kalau sendirian di kelas, ada rasa-rasa aneh begitu.

Tiba-tiba sesosok bayangan melintas dari pintu kelas. Aku terkejut dan menoleh dengan cepat. Ternyata Aldi sang ketua kelas.

“Huh, kamu bikin kaget aku saja Al,” ucapku.

“Lho, kok kaget sih?” tanyanya bingung.

“Anu,… tadi itu aku merasa gimana gitu waktu sebelum datang kamu. Aku merinding sepertinya ada makhluk gaib di sekitar sini,” ujarku menjelaskan.

“Alah, itu hanya perasaan kamu saja. Kamu belum pernah datang sepagi ini sih, biasanya kamu kan datangnya selalu telat, makanya belum pernah merasakan suasana sesepi hari ini,” ucap Aldi sambil memasukkan tasnya ke dalam laci meja.

Dalam hati aku membenarkan apa yang barusan dikatakan Aldi. Aku memang belum pernah datang sepagi ini. Kalau bukan karena insiden tadi pagi, mungkin hari ini aku bakalan telat lagi tiba di sekolah.

“Hei Wulan, tumben kamu datang cepat. Mimpi apa semalam,” sapa Yanti teman sebangkuku dari arah pintu kelas. Aku hanya tersenyum menyambut kedatangannya.

“Ah, kamu ini. Sekalinya aku datang cepat malah diledekin. Besok aku datang terlambat aja ah seperti biasanya,” sahutku sambil cemberut.

“Wah wah wah, jangan merajuk dong sahabatku yang cantik. Yuk kita ke kantin aja sarapan,” ajaknya sambil menarik tanganku.

Aku menuruti ajakannya. Kebetulan perutku memang belum diisi apa-apa sejak semalam. Sekarang baru terasa perihnya.

Baru beberapa orang siswa yang sedang berada di kantin. Rata-rata mereka memilih mie goreng sebagai menu sarapannya. Aku memilih nasi uduk dan segelas teh hangat. Perutku tidak sanggup bila diisi mie pagi-pagi, apalagi sejak semalam aku belum makan apa-apa. Bisa-bisa aku sakit perut nanti.

Selesai sarapan kami segera kembali ke kelas, menunggu bel masuk berbunyi.

Pelajaran pertama hari ini matematika. Ini jenis pelajaran yang paling tidak kusukai. Angka-angka dan rumusnya membuat aku pusing dan mual. Berkali-kali aku berusaha memahaminya tapi tetap saja sulit. Hmm,..mengapa ya di dunia ini ada pelajaran matematika, sering aku bertanya dalam hati.

“Keluarkan buku peer kalian, lalu kumpulkan di meja ibu,” ucap bu Laras mengagetkanku. Reflek tanganku menyenggol siku Yanti yang duduk di sebelahku.

“Memangnya ada peer ya Yan?” tanyaku perlahan. “Kok kamu gak bilang-bilang sih?”

“Lho, aku kirain kamu udah tahu. Lagian kamu gak nanya sih, aku mana ingat. Kalo ga salah  bu Laras ngasih peernya Rabu minggu lalu, aku aja hamper lupa mengerjakannya,” sahut Yanti sambil berbisik.

“Rabu lalu? Aku kan gak sekolah,” bisikku.

“Nah, ntar kalau ditanyain bu Laras kamu jawab aja bahwa Rabu lalu kamu gak datang,” ucap Yanti memberi usul. Aku mengangguk menyetujui usulnya.

“Masih kurang satu orang lagi nih yang ngumpulin peer nya. Ibu udah hitung, jumlah yang hadir hari ini 29 orang, tapi buku yang terkumpul baru 28 buah. Siapa yang tidak mengumpulkan, coba tunjuk tangan!” ujar bu Laras membuat jantungku berdegup kencang.

Perlahan aku mengacungkan jari telunjuk ke atas. Aku pasrah bakalan mendapt hukuman dari bu Laras.

“Hmm,…kamu rupanya Wulan. Kenapa tidak buat peer?” tanya bu Laras.

“Ngg,…anu bu, saya tidak hadir Rabu lalu,” jawabku cepat.

“Lho, kalau tidak hadir Rabu lalu, bukankah kamu masih punya hari lain untuk bertanya pada temanmu apakah ada peer atau tidak ketika kamu tidak masuk? Toh hari ini hari Senin, sudah berjarak empat hari dari hari Rabu yang lalu. Ibu tidak bisa menerima alasan kamu. Kamu memang selalu tidak mengerjakan peer yang ibu berikan,” bu Laras berkata panjang lebar membuat telingaku panas dan berdenging.

“Sekarang kamu keluar menjumpai bu Nining di ruang BK. Berikan kertas ini sama beliau,” ucap bu Laras lagi sambil memberikan secarik kertas kepadaku.

Dengan langkah gontai aku meninggalkan kelas. Sialan, rutukku. Pagi-pagi sudah harus ke rungan BK. Kenapa sih bu Laras tidak bisa menerima alasanku. Aku kan bukan sengaja tidak membuat peer, tapi memang aku tidak tahu kalau diberikan peer matematika pada hari Rabu lalu. Ketika aku ke sekolah pada hari Kamis, aku sama sekali tidak ingat untuk menanyakan peer pada teman-temanku dan mereka pun tidak ada yang memberitahukanku. Lalu salahku dimana, coba.

Ketika langkahku sudah hampir tiba di depan ruang BK, tiba-tiba aku mendengar seserang memanggil namaku.

“Wulaan,…mau kemana?” teriak seseorang.

Aku segera memalingkan muka ke arah sumber suara. Ternyata Tari sedang berlari kecil ke arahku sambil membawa beberapa buah buku paket.

“Ngg,… aku mau ke kantor dewan guru,” jawabku. Aku terpaksa berbohong, malu kalau sampai ketahuan aku harus berurusan dengan guru BK.

“Kamu sendiri mau kemana?” aku balik bertanya.

“Aku mau ke perpustakaan disuruh bu Lela mengembalikan buku-buku ini,” sahutnya sambil menunjukkan buku Seni Budaya yang berada di tangannya.

Tiba- tiba sebuah ide melintas di kepalaku.

“Yuk aku temani ke perpustakaan, setelah dari sana baru aku ke ruang dewan guru,” ajakku.

“Kebetulan kalau begitu, kamu bisa bantu aku mengangkat sebagian buku-buku ini,” sahut Tari sambil memberikan beberapa buah buku kepadaku.

Sesampainya di perpustakaan kami segera menemui pegawai perpustakaan dan mengembalikan buku-buku tersebut.

“Yuk Lan, kita kembali ke kelas,” ucap Tari sambil menarik lenganku.

“Ah males ah, aku mau baca-baca dulu di perpustakaan,” sahutku seraya melepaskan tangannya.

“Lho, bukannya sekarang kita masih ada jam belajar di kelas? Kamu sekarang dengan bu Laras kan?” tanya Tari bercampur heran.

“Iya, kalau kamu mau kembali ke kelas, kamu pergi aja duluan, ntar kamu dimarahi lho sama bu Lela,” sahutku lagi sambil mengambil sebuah buku untuk dibaca.

“Nah, lantas kamu sendiri gimana?” tanyanya lagi.

“Oh, kalau aku sih istimewa, aku sudah mendapat ijin dari bu Laras,” sahutku asal jawab.

Tari menatapku keheranan, seolah tak mempercayai ucapanku barusan.

“Hmm,… aku gak percaya kamu dibolehkan ke perpustakaan sedangkan bu Laras sedang mengajar matematika di kelas kamu,” ucap Tari sambil mengernyitkan dahinya.

“Pasti ada yang tidak beres nih,” ujarnya lagi sambil menatap mataku. Aku tidak memperdulikannya, segera kuambil satu buku lantas duduk lesehan di lantai perpustakaan yang beralaskan karpet warna merah.

“Wulan,” panggilnya perlahan.

“Kamu sedang mendapat hukuman dari bu Laras kan?” tanyanya sambil menutup buku yang sedang kubaca.

“Aah,… kamu reseh amat sih,” sahutku sambil menepis tangannya dari buku yang sedang kubaca.

“Lagi ada masalah di rumah?” tanyanya lagi.

“Hmm,… kasih tau gak yaa,” jawabku menggodanya. Tari mulai terlihat kesal.

“Ntar aku kasih tau om Kasman loh kalau kamu hari ini dapat hukuman dari bu Laras,” ancamnya. Spontan aku berteriak kaget.

“Jangaaann!” teriakku tak sadar namun langsung menutup mulut dengan telapak tangan manakala kulihat penjaga pustaka melotot ke arah kami. Tari tersenyum penuh kemenangan. Tak tik nya berhasil.

“Aku mohon Tari, jangan kamu kasih tahu ayahku kalau aku hari ini tidak masuk pelajaran matematika,” ucapku memohon.

“Baiklah, tapi kamu harus ceritakan dulu padaku apa penyebabnya,” sahut Tari sambil menatap mataku lekat-lekat.

Anak ini memang keras kepala, tapi aku sayang banget sama dia. Dia salah seorang sahabatku yang sangat kupercaya. Selain kami bertetangga, Tari juga adalah saudara sepupuku. Ayahku dan ibunya kakak beradik, maka tak heran kalau kami terlihat akrab karena selain bersahabat kami juga masih bersaudara.

“Aku tidak buat peer matematika, dan ini kali ketiga aku tidak buat peer,” akhirnya aku mengakui juga penyebab aku tidak mengikuti pelajaran matematika hari ini.

“Tapi aku bukan dikeluarkan dari kelas, aku diperintahkan bu Laran menjumpai guru BK di ruangannya. Tapi aku malas, paling juga nasehatnya itu itu saja. Bosan ah,” jelasku.

“Kenapa kamu gak buat peer?” tanyanya lagi.

“Aku gak sekolah Rabu lalu, jadi kan aku gak tau kalau bu Laras ada ngasi peer ke anak-anak,” jawabku memebela diri.

“Memangnya kenapa kamu gak sekolah Rabu yang lalu?” Tari bertanya seperti detektif.

“Ihh,… kamu nanya melulu sih, bawel,” sungutku.

“Aku terlambat bangun, tidak ada orang di rumah yang membangunkanku. Ayah udah pergi kerja dan ibuku gak tau dimana,” jelasku.

“Puas? Ada pertanyaan lagi?” tanyaku.

“Hmm,… ayah dan ibumu masih sering bertengkar Lan?” tanyanya.

Aku tersentak mendengar pertanyaannya. Memang bukan rahasia lagi kalau ayah dan ibuku sering bertengkar. Aku dan keluargaku memang tinggal saling berdekatan dengan para family. Bisa dikatakan tetangga kami adalah saudara ayah dan ibu semua. Ayah dan ibuku masih tergolong saudara, meskipun saudara jauh. Dari cerita yang kudengar, mereka dijodohkan dari kecil.

Aku menghela nafas panjang lantas mengangguk.

“Aku bosan tinggal di rumah Tar. Aku rasanya pengen pergi jauh saja. Ayah dan ibu selalu bertengkar dan aku tidak mengerti apa yang mereka ributkan. Semalam ayah membanting piring bekas makannya, karena ibu membantah perkataan ayah. Tadi subuh aku terbangun karena tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut lagi. Mereka bertengkar lagi. Aku lantas buru-buru mandi dan berangkat sekolah, malas ada di rumah itu. Rumah seperti neraka saja,” jelasku sambil terisak.

Tari mengelus kepalaku dengan sayang.

“Kamu yang sabar ya Wulan. Kamu tidak boleh bicara seperti itu. Kamu tetap harus ada di sisi orang tuamu untuk menjadi penyemangat bagi mereka,” Tari menasehatiku dengan bijak.

“Apa? Penyemangat? Penyemangat untuk bertengkar? Apa mereka peduli dengan aku? Apa mereka tahu bagaimana perasaanku melihat mereka setiap hari bertengkar? Apa mereka pernah bertanya tentang sekolahku? Tidak Tar. Mereka sama sekali tidak menganggapku ada. Mereka hanya sibuk mengurus diri mereka sendiri,” isakku lagi. Unek-unek yang selama ini kupendam akhirnya kutumpahkan semua.

Tari terdiam mendengar keluh kesahku. Dia hanya bisa menatapku dengan pandangan iba. Dibelai-belainya pundakku seakan memberikan aku kekuatan.

“Sabar ya Wulan. Aku mengerti perasaanmu. Semua ini merupakan cobaan yang harus kamu hadapi. Tetaplah berdoa kepada Allah semoga ayah dan ibumu segera berdamai dan hidup rukun kembali,” ucap Tari sambil menghapus air mataku dengan ujung jarinya.

“Kamu tau gak Tari, aku cemburu melihat kehidupan keluargamu yang tentram dan damai. Aku tidak pernah melihat atau mendengar kedua orang tuamu bertengkar,” ucapku lirih.

‘Ya, Lan. Kehidupan manusia berbeda-beda jalannya. Ada yang mulus dan ada yang penuh kerikil tajam,” jawab Tari berfilosofi membuat aku agak sedikit tersenyum mendengarnya.

“Kenapa? Kok malah tersenyum. Lucu ya kata-kataku. Itu aku kutip dari sebuah buku yang pernah aku baca,” ujarnya.

“Nah, kalau kamu sudah bisa tersenyum, yuk kita kembali ke kelas sekarang. Kita sudah melewatkan hamper dua jam pelajaran. Aku mau menjumpai bu Lela mau minta maaf karena sudah meninggalkan kelas terlalu lama,” lanjutnya.

“Kamu masuk aja duluan, sebentar lagi aku menyusul,” kataku.

“Janji ya, kamu segera masuk kelas setelah ini?” tanyanya ragu.

“Iya, aku mau masuk kelas sebentar lagi. Gak mungkin aku masuk kelas dengan mata sembab seperti ini,” kataku memberi alasan.

“Okelah kalau begitu, aku masuk duluan ya. Ingat pesanku ya Lan, kamu harus kuat menghadapi ini semua,” ucap Tari.

Aku hanya menganggukkan kepala meng iyakan ucapannya. Tari tersenyum lantas segera meninggalkanku sambil tak lupa berpamitan dengan penjaga perpustakaan.

**********

Ketika aku tiba di sekolah pagi ini, suasana terlihat sudah sepi. Pasti bel masuk sudah berbunyi dari tadi, bathinku. Hanya terlihat beberapa orang siswa sedang mengutip sampah, bisa dipastikan mereka dihukum karena terlambat.

Kulangkahkan kaki menuju meja piket, melapor datang terlambat. Seperti biasa, guru piket menanyakan alasan keterlambatanku, memberi nasehat lalu memberikan hukuman mengutip sampah yang berserakan di samping kantor kepala sekolah. Setelah semuanya beres, aku menerima selembar kertas ijin masuk lantas bergegas masuk ke kelas.

Di pintu kelas aku berhenti sebentar, menarik nafas panjang lantas mengetuk pintu. Aku berdoa dalam hati semoga tidak dimarahi oleh guru yang sedang mengajar di dalam. Aku tidak tahu siapa guru yang sedang berada di kelasku karena tadi pagi ketika berangkat ke sekolah aku sama sekali tidak melihat roster pelajaran.

“Masuk,” terdengar jawaban dari dalam. Deg,… jantungku berdetak kencang. Itu sepertinya suara guru PPKn. Waduh, habislah aku hari ini, bathinku.

Perlahan aku masuk ke kelas lalu menyerahkan kertas ijin masuk dari piket kepada bu Maisarah. Beliau melirik sebentar ke arah kertas yang kuserahkan lalu menyuruhku segera duduk.

“Kenapa kamu sering sekali terlambat masuk sekolah, Wulan?” tanya bu Maisarah. Tuh kan mulai deh, rutukku dalam hati. Bu Mai pasti akan menceramahiku habis-habisan seperti biasanya.

“Kamu kan tahu peraturan di sekolah ini masuk pukul 07.30 WIB, dan seharusnya sesuai dengan janji siswa yang dibacakan setiap hari Senin saat upacara bendera kalian harus tiba 15 menit sebelum pelajaran dimulai. Tapi kenyataannya kamu tiba di sekolah justru setelah pelajaran dimulai 15 menit yang lalu,” cecarnya lagi.

Aku hanya bisa terdiam sambil menundukkan wajah. Aku tak ingin menjawab apapun. Kalau menjawab bisa-bisa beliau akan bertambah marah.

“Terus kalau ibu perhatikan absen kelas ini, kamu terakhir sekolah hari Senin yang lalu, sedangkan hari ini adalah hari Kamis. Apakah kamu punya ritual khusus untuk ke sekolah hanya hari Senin dan Kamis seperti orang puasa Senin Kamis?” lanjut bu Mai lagi. Beberapa orang temanku tertawa mendengar ucapan bu Mai. Telingaku mulai terasa panas dan berdenging mendengar omelan bu Mai.

“Kamu belum menjawab pertanyaan ibu. Mengapa kamu sering sekali terlambat tiba di sekolah? Apakah ibumu tidak membangunkan kamu lebih awal di pagi hari? Atau jangan-jangan memang ibu kamu tidak perduli apakah kamu pergi sekolah atau tidak, begitu?” cecarnya lagi.

Aku tidak tahan lagi, dengan kesal aku bangkit berdiri hingga kursi yang kududuki terpental dan terguling ke belakang. Aku menghambur keluar dari kelas dengan air mata bercucuran di pipi.

“Wulan!” teriak bu Maisarah.

“Wulan, tunggu, ibu belum selesai bicara!”

Aku tidak memperdulikan panggilannya. Aku terus berjalan meninggalkan kelas. Aku tidak punya mood lagi untuk belajar. Padahal ketika berangkat ke sekolah tadi pagi aku sudah berjanji dalam hati untuk tidak membuat masalah lagi di sekolah. Tapi sekarang aku tidak perduli lagi. Terserah bu Mai mau melaporkanku ke wali kelas atau membuat cabut di absen.

Sambil menghapus air mata aku melangkah menuju perpustakaan. Untungnya perpustakaan masih sepi sehingga tidak ada yang memperhatikanku.

Di perpustakaan hanya ada bu Rahmi dan seorang pegawai perpustakaan. Dengan langkah gontai aku menuju ruang baca dan duduk di salah satu bangku. Aku ingin menenangkan fikiran sebentar.

Tiba-tiba ada yang menyentuh bahuku dari belakang. Reflek aku segera berbalik melihat siapa yang datang. Bu Rahmi guru IPS yang merangkap sebagai kepala perpustakaan sedang tersenyum manis di hadapanku.

“Sedang apa kamu disini Wulan?” tanyanya.

“Bukankah seharusnya kamu sedang belajar PPKn di kelas?” tanya beliau lagi.

“Ngg,… anu bu. Saya ada masalah dengan bu Maisarah. Saya kesini sebentar mau baca-baca buku,” jawabku setengah berbisik.

“Oh, begitu. Baiklah, silakan kamu pilih buku apa yang ingin kamu baca. Di lemari sebelah sudut itu banyak tersedia buku-buku bacaan yang menarik. Kamu pasti suka,” ujar bu Rahmi masih diiringi senyum manisnya. aku hanya menganggukkan kepala. Segera kuturuti anjurannya, memilih satu buah buku lalu kembali ke bangkuku untuk mulai membaca.

Setelah sekitar lima belas menit berlalu kulihat bu Rahmi menghampiri tempat dudukku. Beliau lantas menarik sebuag kursi dan duduk di hadapanku.

“Ibu perhatikan dari tadi kamu sepertinya tidak sedang membaca, Wulan. Kamu terlihat hanya membolak-balik kertas buku saja. Boleh ibu tahu kamu sedang punya masalah apa? Mungkin ibu bisa membantu,” ucap bu Rahmi sambil menyentuh tanganku.

Mendengar ucapan bu Rahmi yang lembut hatiku yang panas rasanya seperti diguyur air es. Memang guruku yang satu ini selalu terlihat ramah kepada semua murid-muridnya. Beliau suka mengajak muridnya mengobrol entah itu membahas sebuah buku terbaru atau sekedar mendengarkan curhatan muridnya.

“Kamu barusan dimarahi sama bu Maisarah ya?” selidik bu Rahmi. Aku menganggukkan kepala.

“Kenapa?” tanyanya lagi.

Aku menghela nafas panjang lalu menatap keluar melalui jendela.

“Seperti biasa bu. Bu Maisarah menegur kenapa saya datang terlambat lalu mengomel panjang lebar karena saya sering tidak hadir ke sekolah,” akhirnya kukeluarkan juga uneg-uneg yang sedari tadi kutahan.

“Oh, begitu. Bukankah itu tandanya beliau perhatian terhadap kamu? Beliau tidak ingin siswanya ketinggalan pelajaran karena terlalu lama membolos sekolah. Kalau seorang guru masih suka mengomel dan memberikan nasehat, itu tandanya guru tersebut masih sayang kepada muridnya. Kalau sudah tidak sayang lagi, guru tentu tidak perduli lagi kepada muridnya apakah sang murid mau masuk atau tidak, mau bisa atau tidak dan sebagainya,” ujar bu Rahmi.

“Iya sih bu. Tapi saya kan malu diomeli seperti itu di hadapan teman-teman saya. Kalau memang beliau mau menasehati saya kan bisa berdua saja, jangan di depan semua kawan sekelas saya,” jawabku tak mau kalah.

Bu Rahmi tersenyum mendengar ucapanku.

“Wulan, setiap guru itu mempunyai ciri khas, gaya mengajar dan kebiasaan masing-masing. Mungkin kebiasaan bu Maisarah memang seperti itu, beliau spontan menegur siswa yang melanggar peraturan dengan maksud supaya si siswa segera sadar dan tidak mengulangi lagi kesalahannya. Mungkin kalau menunggu sampai beberapa saat, takutnya dia lupa karena kesibukan guru yang tidak sedikit. Siswa yang dihadapi juga bukan satu orang. Dalam satu kelas ada sekitar 30 atau 35 orang siswa, bisa kamu bayangkan kan berapa orang siswa dalam 8 kelas?” lanjut bu Rahmi.

Aku hanya menganggukkan kepala.

“Kamu juga tidak boleh bersikap seperti tadi, Wulan. Kamu tidak boleh meninggalkan kelas tanpa ijin dari guru yang bersangkutan. Itu namanya tidak sopan,” sesal bu Rahmi.

“Iya, bu. Habisnya tadi saya kesal dan tidak sanggup lagi mendengar kata-kata beliau. Lagian saya di rumah habis mendengar pertengkaran ayah dan ibu saya, jadinya saya sumpek dan pusing, bu,” ujarku membela diri.

Bu Rahmi tercenung mendengar kata-kataku.

“Apakah orang tuamu sering bertengkar Wulan?” tanya bu Rahmi lagi.

Aku hanya menganggukkan kepala. Hatiku kembali sedih bila ingat kondisi keluargaku. Mengapa keluargaku tidak sama dengan keluarga orang lain. Rasanya tiada hari tanpa pertengkaran.

“Wulan, kalau kamu mau bercerita, ibu siap mendengarkan,” ucap bu Rahmi sambil menyentuh tanganku.

Aku menarik nafas panjang, berusaha mengumpulkan keberanian untuk menceritakan semuanya pada bu Rahmi.

“Tapi ibu janji ya tidak akan menceritakannya pada siapapun?” kataku sejurus kemudian.

Bu Rahmi menganggukkan kepalanya dengan cepat.

“Ibu janji tidak akan menceritakannya pada siapapun. Sekarang, ceritalah supaya hati kamu lega, setidaknya berkurang sedikit beban yang ada di pundak kamu,” ucap bu Rahmi memberikan semangat.

Aku mengangguk sambil membetulkan posisi duduk. Sesaat aku melempar pandangan ke arah jendela. Terlihat beberapa siswa sedang bermain bola voli di lapangan. Setelah menarik nafas panjang sekali lagi, akupun mulai bercerita.

“Seingat saya bu, sedari kecil saya sudah sering mendengar dan menyaksikan sendiri orang tua saya bertengkar. Saya tidak mengerti apa yang menjadi penyebab pertengkaran mereka. Terkadang mereka bertengkar di pagi hari, kadang siang dan terkadang pula di tengah malam,” ucapku perlahan.

“Bila sudah bertengkar, mereka tidak perduli apakah tetangga mendengar atau tidak. Hal ini sering membuat saya malu. Sehingga saya sering bertanya-tanya sendiri, mengapa orang tua saya tidak memiliki rasa malu padahal mereka sudah dewasa,” lanjutku. Bu Rahmi hanya tercenung mendengar kata-kataku. Beliau sama sekali tidak ingin memotong atau menyela. Beliau benar-benar seorang pendengar yang baik.

“Saya kasihan melihat ibu saya, bu. Setiap selesai bertengkar pasti ibu menangis lalu mengunci diri di kamarnya,” ucapku tersendat. Lalu tanpa bisa kucegah air mata mengalir dengan derasnya di pipiku. Terbayang kondisi ibu yang menyedihkan setiap selesai bertengkar dengan ayah.

“Pernah pada suatu pagi setelah malamnya bertengkar dengan ayah, saya memergoki ibu sedang memoleskan salep di dekat matanya yang membiru. Ketika saya tanyakan mengapa, ibu menolak bercerita. Beliau mengatakan tidak apa-apa hanya terbentur pintu kamar mandi. Tapi saya tahu bu, saya tahu kalau beliau habis dipukuli ayah,” tangisku tak dapat kubendung lagi. Aku menangis terisak-isak. Bu Rahmi meraihku kedalam pelukannya. Dipeluknya aku dengan erat sambil membelai-belai kepalaku.

“Sabar ya sayang,... sabar. Semua ini merupakan cobaan dari Allah. Yakinlah semua akan ada jalan keluarnya,” bisik bu Rahmi di telingaku.

“Bukan sekali dua kali saya memergoki wajah ibu luka karena dipukul oleh ayah. Tapi ibu selalu saja berbohong dan mengatakan tidak ada apa-apa. Saya bukan anak kecil lagi, bu. Saya tahu kalau ibu dipukul ayah. Saya benci ayah saya bu, saya benci dia,” ucapku hampir berteriak.

“Tenang sayang, tenanglah. Semua akan baik-baik saja, oke?” ucap bu Rahmi berusaha menenangkanku yang terlihat hampir histeris.

“Saya berdoa setiap hari supaya mereka berpisah saja. Saya tidak tahan melihat perlakuan ayah sama ibu,” lanjutku.

“Makanya saya sering tidak masuk sekolah bu. Saya melakukan semua pekerjaan rumah tangga kalau ibu sakit karena dipukul ayah. Saya bukan malas ke sekolah bu, tapi keadaanlah yang memaksa saya,” isakku lagi.

Bu Rahmi terlihat sangat sedih mendengar ceritaku. Beliau turut menangis.

“Ibu minta maaf kalau selama ini sering memarahi kamu karena tidak masuk sekolah. Ibu tidak tahu kalau alasan dibalik ketidakhadiran kamu ke sekolah adalah karena masalah ini,” ucap bu Rahmi sambil menyeka air matanya.

“Tidak apa-apa bu, saya maklum,” jawabku.

Lama kami terdiam dan larut dengan perasaan masing-masing. Tak lama kemudian bel istirahat berbunyi.

“Wulan, kamu sudah tenang sekarang?” tanya bu Rahmi sejurus kemudian.

Aku hanya menganggukkan kepala. Memang setelah bercerita barusan, perasaanku terasa ringan, setidaknya aku sudah mengeluarkan sedikit duka yang selama ini tersimpan. Ternyata benar kata orang, bila masalah disimpan sendiri akan menjadi beban. Tapi bila berbagi cerita dengan orang lain, maka beban itu akan terasa berkurang. Tentu saja kita harus berbagi cerita dengan orang yang tepat.

“Sekarang kamu jumpai bu Maisarah di kantor dewan guru ya? Minta maaf sama beliau atas perlakuan kamu tadi, lalu berjanji tidak akan mengulanginya lagi, oke?” ujar bu Rahmi.

Aku hanya menganggukkan kepala mendengar saran bu Rahmi.

“Ibu selalu ada bila kamu ingin berbagi cerita lagi. Pesan ibu kamu harus sabar dan harus selalu ada disisi ibumu. Beri dia semangat dan kekuatan untuk menjalani hidup. Kamu juga harus tetap hormat kepada ayahmu. Walau bagaimanapun perlakuannya terhadap ibumu, dia tetaplah ayahmu,” ucap bu Rahmi lagi.

Aku menghela nafas panjang mendengar ucapan beliau yang terakhir. Mampukah aku menghargainya? Entahlah...

 

*************

 

Seminggu berlalu tanpa ada keributan di rumah. Hatiku merasa lega karena belum pernah aku merasakan rumah sedamai sekarang. Biasanya tiada hari berlalu tanpa hardikan, bentakan, caci maki dan sumpah serapah.

Namun ketenangan dan kedamaian itu tidak berlangsung lama. Malam ini aku melihat ibu sedang sibuk memasukkan pakaian kedalam tas koper. Apakah ibu hendak pergi meninggalkan rumah? Perlahan kudekati ibu yang sedang memegang sesuatu seperti sebuah buku notes kecil.

“Ibu,... ibu mau pergi kemana?” tanyaku sambil menatapnya dengan perasaan sedih. Tatapanku beralih ke tas koper besar yang berada di lantai.

Ibu terlihat kaget melihat kehadiranku di kamar. Dihentikannya pekerjaanmya lalu duduk diatas ranjang sambil memberi isyarat kepadaku agar duduk di sebelahnya.

“Ibu mau pergi sebentar, Wulan,” sahutnya pelan. Dari nada suara ibu aku tahu bahwa ibu sedang memendam kesedihan yang sangat dalam. Lalu tiba-tiba saja dua butir air mata jatuh di pipinya yang cekung.

“Ibu mau pergi kemana? Lantas kalau ibu pergi, aku bagaimana bu?” ucapku menahan tangis yang hampir pecah.

Perlahan ibu mendekatiku, menatapku lekat lalu meraihku dalam pelukannya. Tangis ibu pecah, akupun tak dapat menahan haru, turut menagis bersamanya. Kami larut dalam kesedihan. Belum pernah aku melihat ibu serapuh ini. Biasanya ibu selalu tegar menghadapi berbagai persoalan yang menghampirinya.

Setelah beberapa saat saling berpelukan dalam tangis, perlahan ibu melepaskan pelukannya. Diraihnya tanganku,digenggamnya erat. Jemari ibu terasa dingin dan agak gemetar. Sakitkah ibu?

“Wulan, ada sesuatu yang ingin ibu sampaikan padamu. Ibu rasa sudah tiba waktunya kamu tahu apa yang sedang terjadi dalam keluarga kita,” ucap ibu lirih.

Ibu melepaskan genggaman tangannya lalu berjalan ke arah jendela kamar. Pandangannya kosong menatap keluar.

“Ibu harap apa yang akan ibu ceritakan ini bisa kamu ambil hikmahnya dan jadikan pelajaran dalam hidupmu kelak kemudian hari,” lanjut ibu.

Hatiku berdebar menanti apa yang akan ibu ceritakan padaku. Kulihat ibu menarik nafas panjang sebelum kembali berbicara.

“Wulan, ibu dan ayahmu menikah dalam usia yang masih sangat muda. Waktu itu ibu baru berumur 16 tahun, baru duduk di kelas satu SMA, sedangkan ayahmu kelas dua SMA. Cinta yang menggebu membuat kami nekad menikah di usia yang masih sangat belia. Meski orang tua melarang namun kami nekad kawin lari dan akhirnya mereka terpaksa menyetujuinya,” ujar ibu lirih.

“Waktu itu kami sama sekali tak membayangkan kehidupan bagaimana kelak yang akan kami jalani setelah menikah. Dalam anggapan kami kala itu, menikah adalah jalan terbaik agar bisa terus bersama-sama. Nasehat dari guru dan orang-orang terdekat kami abaikan, kami anggap mereka ingin menghalangi cinta kami. Kami nekad menikah dengan hanya bermodalkan cinta.”

Ibu menarik nafas panjang lagi, menghentikan ceritanya. Matanya menatap kosong ke depan.

“Di awal-awal pernikahan memang semua tampak demikian manis. Apalagi tak lama kemudian kamu lahir dan menambah kebahagiaan kami. Namun memasuki tahun kedua, semua mulai berubah sedikit demi sedikit. Saat itu kami menumpang di rumah kakek dan nenek dari pihak ayahmu. Merekalah yang membiayai kehidupan kami,” lanjut ibu.

“Ayahmu yang belum memiliki pekerjaan tetap mulai sering marah-marah. Beliau mulai sering pulang malam. Bila ibu tanya dari mana, ayahmu memberi alasan macam-macam. Namun belakangan ibu dapat informasi kalau ayahmu sering kumpul-kumpul dengan teman-temannya dan menggunakan obat terlarang. Kalau ibu bertanya apakah benar dia menggunakan obat terlarang maka beliau akan marah dan ujung-ujungnya ibu ditampar,” ucap ibu sambil tersenyum getir.

“Ibu tidak mengerti mengapa ayahmu  menjadi temperamental seperti itu, hal yang tak pernah ditunjukkannya sewaktu kami masih pacaran. Mungkin karena ayahmu belum memiliki pekerjaan dan belum bisa menafkahi ibu, sehingga beliau menjadi sering marah-marah untuk menutupi harga dirinya karena terus menerus dibiayai oleh orang tuanya,” lanjut ibu lagi.

“Ketika usia pernikahan kami memasuki tahun ke lima ibu baru merasa menyesal mengapa dulu buru-buru menikah dan tidak melanjutkan sekolah. Ketika ibu melihat teman-teman sebaya ibu mulai kuliah, ada perasaan cemburu di hati ibu. Hari-hari yang mereka lalui rasanya terlihat seperti tak ada beban. Sedangkan ibu setiap hari harus berkutat dengan pekerjaan rumah tangga ditambah lagi merawat anak yang masih balita. Namun apa hendak dikata, nasi sudah menjadi bubur.”

Perlahan ibu meraih kepalaku lalu diusapnya rambutku dengan lembut.

“Ibu harap kisah hidup ibu ini bisa menjadi pelajaran bagi kamu. Ibu tidak ingin kamu bernasib sama seperti ibu. Cukup ibu yang merasakannya,” ujar ibu sambil menatap mataku.

“Wulan, ibu akan berangkat menjadi TKW ke Malaysia,” ucap ibu membuatku tersentak kaget.

“Apa bu? Ibu mau berangkat ke Malaysia?” tanyaku tak percaya.

“Iya sayang, ibu ingin bekerja disana. Tak ada yang bisa ibu lakukan disini. Ibu tidak punya keahlian apapun, ibu juga tidak punya ijazah yang memadai untuk melamar kerja,  ibu hanya punya ijazah SMP. Di Malaysia peluang kerja banyak, banyak teman ibu yang sudah bekerja disana dan penghasilannya lumayan. Nanti ibu bisa mengirim uang dari sana untuk biaya sekolah kamu,” ucap ibu meyakinkanku.

“Tapi bu, apakah ayah mengizinkan ibu berangkat ke sana?” tanyaku.

“Ayahmu tidak peduli Wulan, apakah ibu ada disini atau tidak. Masih ingatkah kamu ketika kami bertengkar seminggu yang lalu? Itulah puncak kesabaran ibu Wulan, ibu akan segera bercerai dengan ayahmu. Kami sudah tidak bisa lagi mempertahankan keutuhan keluarga kita. Maafkan ibu dan ayahmu, Wulan. Kamu lah yang menjadi korban dari semua ini, sekali lagi ibu minta maaf,” tangis ibu kembali pecah. Beliau meraihku kedalam pelukannya.

Kami kembali larut dalam tangis. Aku memeluk ibu erat seakan tak ingin berpisah.

“Kalau ibu berangkat ke Malaysia, bagaimana dengan aku, bu?” tanyaku setelah sekian lama kami terdiam.

“Nanti tante Mur akan tinggal disini menemani kamu. Lagian semua keluarga kita tinggalnya kan berdekatan dengan kita, jadi kamu tidak perlu khawatir ya. Mereka semua sudah tahu rencana ibu dan mereka mendukung sepenuhnya. Meskipun mereka semuanya saudara ayahmu tapi mereka sangat sayang pada ibu,” ujar ibu berusaha menenangkanku.

Aku hanya bisa terdiam mendengar ucapan ibu. Tante Mur adalah adik bungsu ayah yang rumahnya hanya berjarak sekitar sepuluh meter dari rumahku. Aku sering menginap di rumahnya, terutama jika ibu dan ayah sedang bertengkar.

“Wulan, pesan ibu kamu harus belajar yang rajin, ya? Kamu harus sekolah yang tinggi, jangan seperti ibu yang keburu menikah dan tidak sempat menamatkan SMA. Ibu ingin kamu jadi sarjana dan kelak bisa menjadi wanita mandiri yang tidak hanya menggantungkan hidupnya dari pemberian suami. Kamu mengerti maksud ibu?” tanya ibu sambil membelai rambutku.

Aku hanya menganggukkan kepala meskipun aku belum mengerti sepenuhnya.

“Dan satu lagi pesan ibu yang harus kamu dengar baik-baik. Kamu jangan mau terbuai bujuk rayu laki-laki, dengan kata lain kamu jangan pacaran selagi masih sekolah. Nanti jodoh akan datang sendiri. Fokuslah hanya pada pendidikanmu. Insyaallah kamu akan berhasil. Ibu akan selalu mendoakan yang terbaik untukmu,” ucap ibu lagi sambil mencium dahiku.

Aku menganggukkan kepala mendengar nasehat ibu.

“Tidak lama lagi kamu akan mengikuti ujian nasional. Ibu sebenarnya ingin berada disini mendampingi kamu selama kamu ujian, tapi apa boleh buat ibu harus segera berangkat. Rencana ini sudah lama ibu susun, tapi sengaja tidak ibu beritahukan dulu sama kamu, ibu khawatir hal ini akan mengganggu konsentrasibelajarmu. Walau selama ini sebenarnya kami sebagai orangtuamu sudah terlalu banyak membuat kamu sedih dan terluka. Ibu minta maaf Wulan,” ucap ibu sedih sambil kembali menitikkan air mata.

“Sudahlah bu, tidak usah disesali lagi apa yang sudah terjadi,” ujarku berusaha menghibur hati ibu.

“Sekarang ibu fokus saja sama keberangkatan ibu, jangan sampai ada yang terlupakan untuk dibawa,” ucapku lagi sambil memandangi barang-barang bawaan ibu.

“Semuanya sudah beres termasuk surat-surat penting. Ibu rasa tidak ada lagi yang terlupakan,” sahut ibu.

“Sekarang kita tidur dulu ya, sudah pukul sebelas malam. Besok kamu harus ke sekolah dan ibu pagi-pagi sekali sudah harus ke terminal,” ucap ibu lagi.

“Malam ini kamu tidur di kamar ibu ya Wulan. Ibu pengen ditemani kamu malam ini,” kata ibu sambil menatap mataku.

Aku hanya mengangguk tak kuasa menolak permintaan ibu. Aku takut menyesal bila terjadi apa-apa aku tak sempat mengabulkan permintaannya. Ah, aku menepiskan perasaan tak enak yang tiba-tiba menghampiri.

“Tidurlah Wulan, ibu tak ingin kamu terlambat ke sekolah besok,” ucap ibu sambil memeluk tubuhku.

Kupeluk tubuh ibu erat seakan tak ingin berpisah. Aku ingin tertidur lelap malam ini di pelukan ibu. Aku berharap ini hanyalah sebuah mimpi. Mimpi yang terjadi sebelum aku tertidur, karena sebenarnya jauh di lubuk hatiku yang paling dalam, aku tidak ingin ditinggalkan ibu.

Aku menarik nafas panjang berusaha berdamai dengan hati. Kupejamkan mata berharap segera terlelap dan terbuai mimpi indah. Mimpi memiliki keluarga yang utuh yang tidak tercerai berai. Saling mengasihi satu sama lain. Ah, biarlah semua terjadi dalam mimpi, semoga mimpi memiliki keluarga yang bahagia kelak akan menjadi kenyataan. Semoga....

 

 

 

Selesai

 

 


No comments:

Post a Comment