Anisa dan Kisahnya
Bel tanda masuk
usai istirahat baru saja berbunyi. Aku masih asyik menikmati es campur buk Ning
di kantin belakang sekolah. Hmm,..cepet
amat sih bel masuk berbunyi, gumamku dalam hati. Es campur super enak menurutku
ini masih tersisa setengah gelas. Sayang kalau dibuang. Mana mulut masih terasa
pedas setelah menikmati semangkok bakso bang Ucok. Seharusnya jam istirahat
ditambah 10 menit lagi, kalau hanya 20 menit aku tidak sempat memakan ini dan
itu. Mudah-mudahan sekolah berbaik hati menambah jam istirahat menjadi 30
menit, harapku dalam hati.
“Cepat May,..udah
bel tuh,” ucap Nadia sambil menyenggol tanganku.
“Iya, duluan aja
sana,” kataku tak peduli sambil terus meminum es campur.
“Ayoook, ntar
kita dimarahi bu Nurul loh,” Nadia menarik tanganku dengan paksa.
Terpaksa
kutinggalkan es campurku yang masih tersisa seperempat gelas lagi. Kami berjalan setengah berlari menuju kelas.
Sesampainya di
kelas teman-teman terlihat masih berdiri di luar, tandanya bu Nurul yang selalu
on time itu belum masuk. Aku segera
masuk kelas lalu duduk di kursiku. Anisa, satu-satunya siswa yang sudah berada
di dalam kelas terlihat sedang asyik membaca buku. Selalu begitu. Anisa tidak
pernah keluar ketika bel tanda istirahat berbunyi. Dia selalu berada di kelas.
Kalau tidak membaca ya menulis. Entah apa yang dibaca atau di tulisnya setiap
hari.
Aku berjalan
mendekati tempat Anisa duduk, penasaran ingin melihat buku apa yang dibacanya.
“Kamu sedang baca
buku apa, Nis?” tegurku. Anisa mengangkat kepalanya dan menoleh ke arahku.
“Lagi baca buku
cerita nih,” jawab Anita sambil memperlihatkan sampul buku yang dibacanya.
“Balada Hati
Seorang Gadis,” eja ku keras. “Ciiee,…balada nih yee, lagi jatuh cinta ya Nis?”
tanyaku sambil tersenyum menggodanya.
“Memangnya kalau
suka baca novel lagi jatuh cinta ya May?” Anisa balik bertanya.
“Biasanya sih
begitu. Kata orang-orang siihhh,” jawab ku asal-asalan.
“Ah kamu ada-ada
aja. Memang hobbi aku membaca ya apa saja aku baca.” kata Anisa.
“Aku perhatikan
dari dulu kamu selalu membaca di kelas pada saat jam istirahat. Kalau tidak ada
di kelas kamu pasti ada di perpustakaan. Kamu bisa mendapat julukan kutu buku
Nis,” ujarku lagi.
“Biar saja aku
mendapat julukan kutu buku asal jangan kutu kucing,” Anisa berkata sambil
tertawa. Aku pun turut tertawa mendengar ucapannya. Tiba-tiba semua teman
kelasku masuk pertanda bu Nurul sedang berjalan menuju kelasku.
“Assalamualaikum
warahmatullahiwabarakaatuh,” ucap bu Nurul sambil masuk ke dalam kelas.
“Waalaikumsalam warahmatullahiwabarakaatuh,”
kami menjawab dengan serempak.
“Selamat siang
anak-anak, sudah pada jajan semua kan,” Tanya bu Nurul membuka pelajaran.
“Sudah, buuu.”
“Baiklah, berarti
semuanya sudah bisa konsentrasi ke materi yang akan segera kita pelajari selama
dua jam pelajaran ke depan. Coba keluarkan buku IPS, atlas dan peralatan tulis
lainnya,” ucap bu Nurul lagi.
“Kali ini kita
akan mempelajari tentang kemajuan teknologi negara-negara di dunia. Dan tujuan
pembelajaran kita hari ini adalah di akhir pembelajaran nanti diharapkan kalian
bisa menyebutkan contoh negara-negara maju
serta menjelaskan tentang keadaan negara tersebut, keadaan alamnya,
sumber daya alamnya, kehidupan sosial budayanya juga bagaimana hubungan negara
tersebut dengan negara kita, Indonesia.”
“Siapa yang bisa
menyebutkan contoh negara maju?” Tanya bu Nurul.
“Amerika Serikat,
bu,” jawab Anisa.
“Bagus, Anisa.
Negara apa lagi?”
“Jerman, Jepang,
Inggris dan Perancis, bu,” jawab Mursalin dari belakang.
“Ya, benar
semuanya. Itu adalah contoh Negara-negara maju di dunia dan masih banyak lagi negara-negara
maju lainnya. Negara-negara di dunia dapat dikelompokkan menjadi Negara maju (developed countries), Negara berkembang
(developing countries), dan Negara
miskin (less developed countries). Kelompok
Negara-negara maju seringkali diidentikkan dengan negara yang perkembangan
ekonomi dan teknologinya sangat pesat. Namun sebenarnya aspek social budaya
juga menunjukkan perbedaan dengan kelompok negara yang belum maju.” Bu Nurul
menjelaskan dengan penuh semangat.
“Sekarang kita
akan fokuskan membahas tentang salah satu negara maju yaitu Jepang. Apa yang
kamu ketahui tentang negara Jepang?” lanjut bu Nurul
“Jepang adalah
salah satu negara yang pernah menjajah bangsa kita, bu,” jawab Munir dari pojok
depan sebelah kanan.
“Iya, benar
Munir. Namun kali ini kita akan membahas tentang Jepang sebagai salah satu
negara industri yang produknya merambah ke berbagai belahan dunia. Setiap hari
kita pasti melihat kenderaan bermotor produksi Jepang lalu lalang di jalan-jalan
kita sampai ke pelosok negeri.”
“Siapa tahu,
dimanakah negara ini berada?” bu Nurul kembali mengajukan pertanyaan.
“Jepang terletak
di barat laut Samudra Pasifik. Jepang berbatasan di sebelah barat dengan Korea
Utara dan Korea Selatan, Rusia dan China. Di sebelah utara, timur dan
selatannya berbatasam dengan Samudra Pasifik,” jawab sebuah suara. Aku segera
menolehkan kepala ke asal suara, dan ternyata Anisa yang menjawab pertanyaan bu
Nurul barusan. Aku terpaku sekaligus kagum dengan jawabannya. Aku memang sering
mendengar tentang Negara Jepang tetapi tidak tahu sama sekali bagaimana letak
Negara Jepang secara geografis.
“Ya, tepat sekali
Anisa. Lokasi wilayah Jepang membuat Jepang memiliki ciri iklim musim dengan
perubahan musim yang jelas. Pada musim dingin, suhu udara antara -7° C sampai
dengan 7° C. Pada musim panas, suhu udara antara 21° - 27° C. Curah hujan di
Jepang umumnya tinggi, berkisar antara 840 – 3.050 mm per tahun.” Ujar bu Nurul
sambil menunjukkan peta negara Jepang.
Semua siswa memperhatikan
penjelasan yang disampaikan bu Nurul. Sebenarnya aku tidak begitu suka dengan
pelajaran IPS, tapi karena bu Nurul menyampaikan pelajaran dengan cara yang
menyenangkan akhirnya lama kelamaan aku jadi suka dengan pelajaran ini. Awalnya
aku beranggapan bahwa pelajaran IPS adalah pelajaran yang membosankan, penuh
hafalan dan kurang menantang. Beda dengan pelajaran matematika atau fisika. Aku
lebih senang dengan kedua pelajaran ini karena aku suka pelajaran berhitung,
tidak membosankan dan tidak membuat ngantuk. Tapi herannya dengan bu Nurul aku
jadi tidak bosan, mungkin karena beliau sering mempergunakan media dan alat
peraga sehingga pembelajaran berlangsung dengan menyenangkan. Beliau juga
sering mengajukan pertanyaan kepada siswa, dan apabila jawaban siswa salah
beliau tidak pernah mempermalukan siswa tersebut, beliau selalu mengatakan
hampir benar padahal jelas-jelas jawaban tersebut salah. Itulah sebabnya
mengapa bu Nurul sangat disenangi siswa karena beliau berbicara dengan santun
kepada semua siswa dan tidak pernah berkata kasar meski sedang kesal sekalipun.
“Negara Jepang
terdiri dari empat pulau besar. Tahukah kalian nama keempat pulau tersebut?”
pertanyaan bu Nurul membuyarkan lamunanku. Terlihat dari sudut mataku Anisa
tiba-tiba mengacungkan tangan.
“Pulau Hokkaido,
Honshu, Kyushu dan Shikoku.” Jawabnya.
“Tepat sekali
Anisa. Ayo yang lain mana suaranya? Sepertinya hanya Anisa yang menjawab ya?
Yang lain jangan mau kalah, semuanya harus berani menjawab pertanyaan ibu,” Bu
Nurul memberi semangat.
“Nah kali ini ibu
ingin memberikan satu lagi pertanyaan, ibu harap bukan Anisa lagi yang menjawab
tetapi yang lain, oke?” Para siswa berpandangan satu sama lain, berharap bisa
menjawab pertanyaan terakhir dari bu Nurul.
“Siapa diantara
kalian yang bisa menjelaskan tentang keadaan sosial budaya Negara Jepang?”
Tidak terlihat
ada yang mengacungkan tangan pertanda akan menjawab pertanyaan. Semua terdiam
dan menunggu. Anisa terlihat juga hanya diam, mungkin karena dia ingin member
kesempatan pada yang lain untuk menjawab.
“Gimana, tidak
ada yang tahu? Kamu bagaimana Mayang? Mungkin kamu tahu jawabannya? Jangan
malu-malu oke, kalau salah kita perbaiki bersama.”
Aku tersentak
mendengar namaku disebut bu Nurul. Tapi aku memang tidak tahu jawabannya. Aku
gelisah sambil melihat ke kanan dan ke kiri, barangkali ada yang bisa membantu.
Namun kemudian bu Nurul menyebutkan nama siswa yang lain untuk menjawab
pertanyaan beliau. Disinilah satu lagi kehebatan bu Nurul, beliau tidak pernah
memaksa jawaban pada satu orang siswa, bila dilihatnya siswa tersebut tidak
bisa menjawab maka langsung dialihkan kepada siswa yang lain tanpa
mempermalukan siswa yang tidak bisa menjawab tadi.
“Hmm, baiklah,
mungkin Anisa bisa membantu menjawab?” akhirnya bu Nurul melemparkan pertanyaan
tersebut kepada Anisa. Anisa terlihat tersenyum tipis sambil mengangguk.
“Sebagaian besar
penduduk Jepang bekerja di luar sektor pertanian, oleh karena itu 91%
penduduknya tinggal di daerah perkotaan. Penduduk Jepang terdiri dari beberapa
etnik, tetapi yang dominan adalah etnik Jepang, Korea dan China. Agama yang
dianutnya terdiri dari agama Shinto, Buddha dan Kristen. Bangsa Jepang sangat
terkenal sebagai bangsa pekerja keras dan disiplin. Tidak heran jika kualitas
hasil kerjanya diakui sangat tinggi.
Karena itulah, mereka menjadi negara terkemuka dalam bidang industri dan
perdagangan walaupun sumber daya alamnya terbatas.” Anisa menjawab dengan
sangat lancar.
“Luar biasa
Anisa. Kamu menjawab dengan sangat lengkap. Pasti karena kamu suka membaca maka
kamu bisa menjawab pertanyaan ibu dengan mudah. Ayo yang lain jangan mau
ketinggalan. Semua harus rajin membaca karena dengan banyak membaca kita bisa
mendapatkan banyak pengetahuan.”
Tidak terasa
lonceng pergantian jam berbunyi, menandakan bu Nurul harus segera menyelasaikan
aktivitas mengajarnya di kelas kami. Aku berjalan mendekati Anisa yang sedang
memasukkan buku-bukunya ke dalam tas.
“Aku salut sama
kamu, Nis. Kamu selalu bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan oleh
bu Nurul. Bagaimana caranya, Nis?” aku bertanya tanpa malu-malu.
“Ah, biasa aja
May. Kebetulan aku kemarin baru pinjam buku dari perpustakaan, judulnya
“Mengenal Dunia”, dan kebetulan semalam aku mebaca yang bagian tentang Negara
Jepang. Jadi masih teringat deh,” jawab Anisa merendah. Anisa memang selalu begitu, tidak pernah
menyombongkan diri meski dia bisa. Setiap teman yang datang meminta
pertolongannya untuk menjelaskan materi pelajaran yang sulit, dia selalu
bersedia membantunya. Tak heran jika banyak yang suka berteman dengannya
meskipun ada juga satu dua yang tidak menyukainya tanpa alasan yang jelas. Aku
pribadi tidak pernah milih-milih dalam berteman, kaya miskin bagiku sama saja
karena bundaku pernah berkata bahwa kita tidak boleh memilih-milih teman dalam
bergaul, karena di mata Allah semua manusia itu sama, yang membedakannya cuma
amal ibadahnya saja.
Keesokan harinya
ketika jam istirahat telah berbunyi, aku mengajak Anisa ke kantin.
“Nis, ke kantin
yok, jajan. Apa kamu tidak lapar dan bosan asyik membaca buku terus?” Ajakku
sekaligus bertanya pada Anisa yang terlihat sedang bersiap-siap untuk membaca
sebuah buku.
“Kamu duluan aja
deh May, aku masih ingin membaca buku ini. Aku penasaran kisah akhirnya
bagaimana,” elak Anisa.
“Baiklah, kalau
begitu aku ke kantin dulu ya,” pamitku. Anisa hanya menganggukkan kepalanya.
Ketika bel pulang
sekolah berbunyi, aku segera keluar kelas. Perutku terasa keroncongan minta
diisi, padahal tadi ketika jam istirahat aku sudah makan semangkuk mi ayam plus
segelas es cincau.
Saat melewati
kantor dewan guru, tak sengaja aku melihat Anisa masuk kedalam kantor tersebut.
Penasaran aku mengikutinya karena setahuku Anisa bukan sekretaris kelas yang
punya kewajiban mengantarkan absen setelah usai sekolah, dan sepertinya juga
Anisa tidak sedang bermasalah sehingga dipanggil ke kantor dewan guru. Di
ambang pintu aku terkejut ketika melihat Anisa minta ijin kepada salah seorang
guru untuk mengambil air minum dari dispenser. Dia mengisi botol minumnya
dengan air tersebut lalu meminumnya. Aku segera menghindar takut Anisa melihat
kehadiranku di situ. Aku tidak ingin membuatnya malu. Aku bertanya-tanya
mengapa Anisa meminta air minum ke ruang guru. Hmm,… pasti karena dia haus dan
tidak punya uang untuk membeli minuman, jawabku sendiri dalam hati. Dadaku
terasa sesak memikirkan kemungkinan tersebut. Mungkinkah Anisa tidak punya uang
jajan? Jangan-jangan kebiasaannya berada di kelas atau ke perpustakaan setiap
jam istirahat dikarenakan dia tidak punya uang untuk jajan? Mengapa Anisa tidak
punya uang jajan? Mengapa orang tuanya tidak memberikan uang jajan untuk Anisa?
Pertanyaan demi pertanyaan berseliweran dalam otakku. Aku penasaran. Aku ingin
tahu apa yang terjadi pada Anisa. Aku ingin tahu keadaan keluarganya. Boleh
tidak ya aku main ke rumahnya, tanyaku dalam hati.
“Nis, aku main ke
rumah kamu boleh?” cegatku ketika dia melintas di depanku.
Anisa tentu saja
terkejut. Dia menatapku sesaat sambil mengerutkan dahi.
“Untuk apa?”
tanyanya.
“Tidak untuk
apa-apa, aku kepengen saja main ke rumahmu. Aku kan belum pernah main ke
rumahmu. Aku pengen melihat koleksi buku-buku bacaanmu,” jawabku asal-asalan.
“Wah, aku tidak
punya koleksi buku-buku bacaan, Mayang. Semua buku yang aku baca adalah
pinjaman dari perpustakaan yang harus segera aku kembalikan setelah masa
peminjamannya selesai,” ujar Mayang sambil tersenyum.
“Ah pokoknya aku
kepingin main ke rumahmu. Boleh kan, Nis?” desakku.
Anisa berfikir
sesaat, lantas menjawab, “Baiklah, tapi
kamu jangen kaget ya melihat kondisi rumahku yang jelek dan berantakan.” Aku mengangguk mengiyakan lalu kami segera
berjalan menuju rumahnya.
Setelah melewati
beberapa pengkolan akhirnya kami tiba di rumah Anisa.
“Nah, kita sudah
sampai. Ini rumahku May. Masuk yuk,” ajak Anisa.
Aku terkejut
melihat kondisi rumah Anisa. Rumahnya sangat kecil, dindingnya hanya dari
anyaman bambu dan atapnya terbuat dari daun rumbia. Aku berdiri di depan pintu
rumahnya, tak kuasa menahan rasa terkejutku.
“Kan aku sudah
bilang tadi May, jangan kaget melihat kondisi rumahku.”
Aku tersenyum
tipis mendengar ucapan Anisa. Lantas aku segera masuk ke rumahnya mengikuti
Anisa yang sudah duluan masuk. Sesampainya di dalam aku lebih terkejut lagi
melihat kondisi di dalam rumahnya. Lantai rumahnya hanya terbuat dari tanah,
belum di semen apalgi di keramik. Lantainya hanya ditutupi oleh selembar karpet
usang yang sudah koyak di sana sini. Anisa menunduk memunguti beberapa pakaian
seragam sekolah yang berserakan di lantai.
“Sori ya May.
Rumahku berantakan begini. Maklum adikku ada empat dan mereka suka sembarangan
meletakkan baju seragamnya sepulang dari sekolah,” Anisa menjelaskan dengan
wajah malu.
“Ah gak apa-apa
kok Nis. Aku maklum,” sahutku berusaha agar Anisa tidak malu.
“Kamu duduk dulu
ya, aku ambilkan air minum.”
“Gak usah
repot-repot Nis.”
“Ah, Cuma air
putih doang kok. Yang lain juga gak
ada,” Anisa lantas menghilang ke dapur.
Aku duduk di atas
kursi plastik satu-satunya yang ada di ruangan itu. Mataku melihat ke
sekeliling ruangan. Tidak ada barang mewah satupun yang kulihat ada di situ.
Jangankan televisi, kursi tamu saja tak ada. Aku terenyuh melihat kondisi rumah
Anisa.
“Minum dulu,
May.” Anisa datang membuyarkan lamunanku.
“Aku masak dulu
ya May. Adik-adikku pasti sudah lapar.” Kata Anisa perlahan. Aku kaget
mendengar perkataannya.
“Kamu masak dulu
sepulang dari sekolah, Nis? Setiap hari seperti itu?” tanyaku tak sabar.
“Iya, May. Kalau
kamu pasti sepulang sekolah langsung makan ya?” Tanya Anisa sambil tersenyum.
Tak terlihat kesedihan di wajahnya. Anisa lantas segera terjun ke dapur,
memasak nasi dan mempersiapkan lauk ala kadarnya. Aku hanya duduk memperhatikan
pekerjaannya tanpa tahu harus berbuat apa.
“Ibu kamu kemana
Nis?” tanyaku memberanikan diri. Mendengar pertanyaanku Anisa lantas
menghentikan pekerjaannya yang sedang mengiris bawang merah untuk dicampurkan
ke dalam kocokan telur dadar.
“Ibuku sudah
pulang ke kampungnya, May. Aku tidak tahu mengapa, tapi aku merasa ada sesuatu
yang terjadi antara ibu dan ayah. Mereka tidak pernah bercerita dan akupun
tidak pernah bertanya,” sahut Anisa perlahan. Aku menganggukkan kepala seakan
mengerti. Betapa rumit persoalan orang tua, pikirku.
“Jadi kamu
sendirian mengurus adik-adikmu, Nis?” tanyaku lagi.
“Iya, May. Ayahku
pergi kerja dari subuh tadi dan baru pulang menjelang magrib. Abangku, Ricki sekitar jam tiga siang nanti baru pulang dari
sekolah.” Anisa menjelaskan. Aku termangu mendengar penjelasannya. Betapa
beruntungnya diriku, bisikku dalam hati. Bangun pagi langsung mandi, sarapan
lantas berangkat sekolah setelah sebelumnya minta uang jajan dulu. Tapi Anisa? Bangun
pagi dia langsung ke dapur menyiapkan sarapan untuk adik-adik dan ayahnya,
mencuci pakaian dan piring kotor baru berangkat ke sekolah. Tapi aku tidak
pernah melihat dia terlambat tiba di sekolah.
“Kamu bangun
paginya cepat ya Nis?” tanyaku tiba-tiba.
“Iya dong, kalau
tidak aku tidak sempat sarapan pagi. Kalau tidak sarapan bisa-bisa aku
kelaparan karena aku tidak bawa uang jajan ke sekolah,” sahut Anisa.
“Lho, kamu tidak
diberikan uang jajan oleh ayahmu?” tanyaku lagi. Anisa hanya menggeleng sambil
tersenyum.
“Ayah memberikan
uang jajan hanya cukup untuk adik-adikku saja, May. Dan aku mengerti uang ayah
terbatas, penghasilannya sebgai buruh bangunan tidak banyak, hanya cukup untuk
makan kami sehari-hari, maka aku tidak menuntut ayah untuk memberikan aku uang
jajan. Yang penting adik-adik ada uang jajannya saja sudah cukup,” pungkas
Anisa.
Hatiku tercekat
mendengar perkataan Anisa. Lagi-lagi aku merasa bersyukur dalam hati. Aku tidak
pernah kekurangan uang jajan.
“Itulah sebabnya
aku tidak keluar kelas ketika jam istirahat, May. Aku tidak punya uang jajan,
jadi yah aku membaca saja di kelas atau di perpustakaan,” ucap Anisa sambil
tersenyum malu. Aku termangu mendengar uacapan Anisa. Betapa aku selama ini
tidak tahu bersyukur. Aku selalu mengomel dalam hati bila lonceng tanda masuk
usai istirahat berbunyi. Aku menggerutu karena menurutku jam istirahat terlalu
singkat sehingga aku tidak sempat jajan banyak, sementara Anisa sama sekali
tidak bisa jajan karena tidak punya uang. Aku merasa malu terhadap diriku
sendiri.
“Tapi aku tidak
merasa sedih, May. Malah aku bersyukur karena dengan begitu aku jadi punya
waktu banyak untuk membaca buku, sebab kalau di rumah aku tidak bisa membaca
dengan tenang karena diganggu dengan teriakan adik-adikku,” jelasnya lagi. Aku
menganggukkan kepala membenarkan ucapannya.
“Pantas lah kamu
bisa menjawab semua pertanyaan bu Nurul tadi ya Nis. Kamu selalu mengisi waktu
istirahatmu dengan membaca,” pujiku. Anisa hanya tersenyum mendengar ucapanku.
Menjelang sore
aku pun berpamitan pada Anisa. Dalam perjalanan pulang aku merenungi semua
kejadian yang telah kualami pada hari ini. Aku memperoleh pelajaran berharga
bahwa aku sepantasnya selalu bersyukur pada Allah karena telah memberikanku
kehidupan yang layak. Bila dibandingkan dengan Anisa, kehidupanku jauh lebih
baik. Aku berjanji dalam hati untuk memanfaatkan waktu luang dengan
sebaik-baiknya.
Tak sabar aku ingin segera tiba di rumah dan
mencium tangan ibu. Aku akan mngatakan pada ibu bahwa aku sayang padanya dan
berterimakasih karena sudah mengurus semua keperluanku dari pagi hingga malam,
dari bayi hingga sekarang.
Selesai
No comments:
Post a Comment