Cerpen: Tertangkap Basah - SMP Negeri 12 Lhokseumawe

Breaking

Tuesday, November 10, 2020

Cerpen: Tertangkap Basah


 

Tertangkap Basah

 

Pelajaran IPA di kelas 9C baru berjalan sekitar 30 menit ketika terdengar suara ketukan di pintu.

“Masuk,” ucap bu Eka terdengar nyaring.

“Assalamu’alaikum, bu. Selamat pagi,” ujar sebuah suara yang ternyata berasal dari seorang siswa bernama Farhan.

“Waalaikumsalam, silakan masuk,” ucap bu Eka. Farhan melangkah memasuki kelas sambil tertunduk. Tangannya memegang selembar kertas izin masuk dari piket. Bu Eka menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Telat lagi Farhan?” ucap bu Eka sambil mengambil kertas yang disodorkan Farhan. Farhan hanya menganggukkan kepalanya.

“Ini sudah kesekian kalinya kamu terlambat masuk pada jam pelajaran ibu,” ujar bu Eka dengan lembut. Ibu guru yang satu ini memang terkenal paling lembut pada siswanya. Hampir tidak pernah marah, selalu sabar dalam menghadapi kelakuan para siswa. Tak heran kalau bu Eka selalu mendapat predikat guru favorit di sekolahnya. Semua siswa menyukai bu Eka, karena beliau terlalu sabar dalam menghadapi kenakalan para siswa.

“Iya bu, saya minta maaf. Saya berjanji tidak akan terlambat lagi,” lirih terdengar suara Farhan.

“Hmm… ya sudahlah. Kamu duduk sana, langsung buka buku pelajarannya ya,” bu Eka memerintahkan  Farhan untuk duduk.

Farhan berjalan gontai menuju kursinya. Dia duduk di sebelah Andi. Baru saja dia meletakkan pinggulnya di kursi, suara bu Eka sudah kembali terdengar menjelaskan pelajaran.

“Nah anak-anak sekalian, kita lanjutkan lagi pelajaran kita tentang pewarisan sifat pada makhluk hidup. Tadi kalian sudah mengamati bentuk wajah, bentuk rambut, warna kulit, postur tubuh dan sifat lainnya yang berbeda antara kalian dan teman-teman kalian. Mari kita diskusikan bagaimana karakteristik seseorang diturunkan dari orang tuanya,” jelas bu Eka dengan suara nyaring.

“Bu, kalau seseorang tubuhnya gendut berarti orang tuanya gendut juga kan bu? Contohnya si Mamat nih bu. Badannya gendut kayak ibunya, hahaha… “ Irsyad tertawa sambil menunjuk ke arah Mamat. Seisi kelas ikut tertawa. Mamat terlihat cemberut. Wajahnya memerah pertanda marah dan malu.

“Sudah…sudah,” tukas bu Eka mencoba melerai candaan siswanya.

“Mamat, kamu jangan tersinggung ya. Kita memang akan mempelajari karakteristik setiap makhluk hidup yang disebut gen. Melalui gen ini pula karakteristik tubuh kita mirip dengan orang tua kita,” lanjut bu Eka lagi.

“Nah, benar kan apa saya bilang,” Irsyad berkata sambil membusungkan dadanya.

“Ya, benar Irsyad. Makanya kita harus selalu bersyukur kepada Allah dengan adanya gen-gen ini. Kekurangan satu gen saja bisa menyebabkan kelainan pada karakteristik tubuh kita. Tahukah kalian dimana letak gen? Bagaimana proses pewarisan gen-gen dari orang tua kepada keturunannya? Dapatkah kita mengubah gen-gen suatu makhluk hidup misalnya padi sehingga kita dapat meningkatkan hasil produksinya? Tentunya kalian sangat tertarik bukan untuk mengetahui jawabannya?” bu Eka menjelaskan dengan bersemangat.

“Nah, sekarang kita bentuk kelompok ya. Ibu akan bagi kelas ini menjadi enam kelompok, setiap kelompok terdiri dari 5 orang siswa. Ayo kita mulai menghitung dari angka 1 sampai 6. Dimulai dari kamu, Indra,” perintah bu Eka. Indra mulai menghitung. Ketika tiba giliran Farhan menghitung, suara hitungan tiba-tiba lenyap. Bu Eka mengerutkan kening dan melihat ke meja Farhan. Ternyata Farhan sedang tidur dengan pulasnya.

“Farhan!” bu Eka memanggil dengan suara agak keras. Farhan tidak menyahut. Dengan kesal bu Eka mendatanginya. Bahu Farhan digoyang-goyangnya dengan gemas.

“Bangun Farhan,” bu Eka kembali bersuara. Farhan tersentak kaget. Sambil mengucek-ngucek matanya dia melihat ke sekeliling. Semua teman-temannya menertawainya. Bu Eka menarik nafas panjang berusaha sabar seperti biasanya.

“Ulangi menghitungnya, ya,” ucapnya. Siswa kelas 9C kembali menghitung.

“Nah, sekarang yang memiliki angka 1 duduk dengan yang memiliki angka 1 ya. Demikian juga yang memiliki angka 2, 3 4 ,5 dan 6. Masing-masing duduk dengan temannya yang memiliki angka hitungan yang sama,” terang bu Eka membagi kelompok.

Semua siswa bergerak membentuk kelompok masing-masing. Farhan dengan terkantuk-kantuk menyeret langkahnya mencari teman satu kelompoknya. Setelah bergabung dengan kelompoknya, Farhan kembali melanjutkan tidurnya yang sempat terganggu tadi.

“Hei Farhan, kamu jangan tidur lagi,” ucap Yanti yang berada satu kelompok dengannya.

“Iya, nanti bu Eka marah, lho,” tukas Dina yang duduk di sebelah Yanti.

“Aahh,… biar aja. Aku ngantuk sekali nih. Bu Eka ga akan marah kok, beliau kan guru paling baik sedunia,” timpal Farhan sambil menguap lalu kembali menelungkupkan kepalanya ke atas meja.

“Ya sudah kalau gak mau dengar,” sungut Dina lagi.

“Nah anak-anak sekalian. Pada pertemuan yang lalu, ibu sudah menyuruh kalian untuk membawa foto anggota keluarga masing-masing. Sekarang tugas kalian adalah perhatikan foto anggota keluarga kalian dan foto anggota keluarga teman kalian satu kelompok. Tulislah karakteristik apa saja yang dapat kalian temukan pada anggota keluarga kalian dan teman kalian pada tabel yang sudah ibu bagikan minggu lalu. Waktunya 30 menit,” ucap bu Eka.

Semua siswa bekerja dengan serius. Bu Eka berjalan berkeliling memantau pekerjaan murid-muridnya. Tiba pada kelompok Farhan, bu Eka menghentikan langkahnya. Farhan terlihat kembali tertidur dengan pulasnya. Bu Eka sudah tidak tahan lagi melihat kelakuan Farhan. Dengan gemas, ditepuknya bahu Farhan. Farhan tersentak bangun. Bu Eka terlihat berdiri berkacak pinggang di hadapannya. Wajah bu Eka terlihat marah. Farhan belum pernah melihat wajah bu Eka segusar itu.

“Farhan, kamu sekarang keluar cuci muka, lalu kamu pindah duduk di kursi ibu ,” ujar bu Eka dengan nada sedikit tinggi. Farhan mematuhi perintah bu Eka, lantas keluar kelas menuju kamar mandi siswa yang berada di dekat kantin.

Sekembalinya Farhan dari kamar mandi, teman-temannya terlihat sudah ada yang menyelesaikan pekerjaannya. Tak lama kemudian bel istirahat berbunyi, bu Eka  segera berkemas untuk meninggalkan kelas. Tapi sebelum meninggalkan kelas, beliau menghampiri Farhan.

“Farhan, kamu sudah melakukan dua kesalahan sekaligus pada jam pelajaran ibu,” ujar bu Eka menatap wajah Farhan. Yang ditatap hanya menundukkan kepalanya tanda bersalah.

“Kesalahan yang pertama adalah terlambat. Kesalahan yang ke dua adalah tidur di kelas. Jadi untuk menebus kesalahan kamu, kamu harus mengumpulkan tugas seperti yang dikerjakan teman-temanmu tadi, tapi kamu mengerjakannya secara individu bukan kelompok. Jelas?” ujar bu Eka tegas. Farhan hanya menganggukkan kepalanya.

“Kamu kerjakan saat jam istirahat ini, lalu ketika bel masuk berbunyi, langsung kamu serahkan ke ibu. Manfaatkan waktu istirahat selama 30 menit ini dengan baik, kalau tidak ibu akan panggil orang tua kamu,” ucap bu Eka setengah mengancam. Farhan terkejut mendengarnya. Belum pernah bu Eka menghukumnya seperti ini, pasti karena kesalahannya kali ini tidak bisa lagi ditolerir oleh beliau, gumamnya dalam hati.

Dengan terpaksa Farhan kembali duduk di bangkunya, mengurungkan niatnya ingin jajan ke kantin. Semua teman-temannya sudah keluar, tinggal dia sendirian di kelas. Dikeluarkannya pulpen dan Lembar Kerja Siswa yang dibagikan bu Eka minggu lalu, lalu berusaha konsentrasi mengerjakan tugasnya.

Tinggal 5 menit lagi waktu istirahat tersisa, Farhan hampir rampung menyelesaikan tugasnya. Dia tidak ingin orang tuanya di panggil karena kesalahannya. Kasihan ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan harus datang menemui wali kelasnya karena kesalahannya.

Ketika dia ingin menyimpan pulpen dan buku paketnya ke dalam laci, tiba-tiba matanya melihat ke arah tas Nadia yang berada di dalam laci meja tak jauh dari mejanya. Tas tersebut terbuka sedikit resletingnya, dan dompet warna merah jambu terlihat sedikit menyembul keluar. Farhan melihat sekelilingnya, belum ada satu orangpun temannya yang masuk kelas. Perlahan didekatinya tas tersebut dan membuka dompet yang terdapat di dalamnya. Awalnya penasaran ingin melihat isinya. Seketika matanya melotot melihat isi dompet yang terdiri dari uang puluhan ribu. Tanpa sadar tangannya mengambil uang pecahan sepuluh ribu beberapa lembar lantas buru-buru mengembalikan dompet itu ke tempatnya semula lalu bergegas keluar menuju kantor dewan guru.

    

                  *********

Keesokan harinya berita bahwa Nadia kehilangan uang dengan cepat menyebar ke seantero kelas. Farhan yang kemudian muncul belakangan di kelas tepat ketika lonceng masuk berbunyi terlihat berusaha bersikap sewajar mungkin. Sambil bersiul riang dia meletakkan tasnya di meja lalu bergabung dengan kelompok Andi yang sedang mengobrol.

“Ada apa sih,” tanyanya pura-pura tidak tahu.

“Nadia kehilangan uang lima puluh ribu rupiah di dompetnya,” sahut Andi teman sebangkunya. “Padahal itu uang kas kelas yang rencananya akan dia serahkan ke bu Zahara,” lanjut Andi lagi.

“Kok bisa hilang ya,” sahut Dina. “Siapa ya yang mengambilnya. Kasihan Nadia, sebagai bendahara kelas dia harus bertanggung jawab ata kehilangan uang tersebut,” lanjutnya lagi.

“Ah,… mungkin terselip atau salah hitung barangkali,”  Farhan menimpali ucapan Dina. Dina yang mendengar jawaban Farhan hanya mengangkat bahu. Tak lama kemudian bu Zahara wali kelas 9C masuk hendak memberikan pelajaran bahasa Inggris.

“Good morning, class,” ucap bu Zahara mengawali pelajaran.

“Good morning, Mam,” siswa kelas 9C menyahut serempak.

“How are you, today?” tanya bu Zahara lagi.

“I’m fine, thanks and how about you?” sahut mereka lagi.

“Very well, thank you,” bu Zahara menjawab sambil tersenyum.

“Okay class, today we are going to study about narrative text. Who have been studied about the text?” bu Zahara bertanya dengan suara nyaring. Tidak ada yang menyahut, para siswa masih sibuk berbisik-bisik tentang uang Nadia yang hilang. Bu Zahara mengerutkan dahinya. Otaknya menangkap dengan cepat bahwa ada sesuatu yang tidak beres di kelas tersebut, namun dia berusaha mengabaikannya.

“Have you ever read about Malinkundang’s  story?” bu Zahara melanjutkan pertanyaannya lagi. Kali ini juga tidak ada siswa yang menjawab. Bu Zahara melemparkan pandangan ke sudut kelas. Beberapa anak kelihatan asyik mengobrol merundingkan sesuatu.

“Sulastri, apa yang sedang kalian obrolkan. Kelihatannya sangat penting dan seru sekali. Kalau boleh ibu ingin mendengarnya juga dong,” bu Zahara mendekati tempat duduk Sulastri dan teman-temannya. Seketika mereka terdiam, namun di sudut yang lain sekelompok anak kembali berbicara meski berbisik-bisik. Bu Zahara semakin curiga ada sesuatu yang tidak beres.

“Ada apa ya? Kok ibu merasa ada sesuatu yang terjadi di kelas ini. What’s happen Siska?” bu Zahara bertanya pada Siska sang sekretaris kelas.

Siska terlihat bingung dan salah tingkah. Matanya melirik ke arah Nadia. Barulah bu Zahara sadar ketika melihat mata Nadia yang merah seperti habis menangis.

“What’s wrong with you, Nadia? Kenapa kamu menangis?” Tanya bu Zahara pada Nadia.

“Nadia kehilangan uang, bu,” sebuah suara menyahut dari belakang. Bu Zahara menoleh kearah sumber suara. Ternyata Aldi sang ketua kelas yang angkat bicara.

“Benar Nadia? Kamu kehilangan uang?” tanya bu Zahara. Nadia menganggukkan kepalanya.

“Berapa?” tanya bu Zahara lagi.

“Lima puluh ribu rupiah, bu,” sahut Nadia.

“Dimana uang tersebut kamu letakkan?”

“Di dalam tas saya, bu,” sahutnya lagi.

“Kapan kamu sadar uang itu sudah tidak ada lagi?” tanya bu Zahara.

“Tadi malam bu, sewaktu saya mau menghitung jumlah uang kas untuk minggu ini,” ujarnya lagi.

Bu Zahara mengerutkan dahi, beliau terlihat memikirkan sesuatu.

“Baiklah, masalah tersebut untuk sementara kita tinggalkan dulu, sekarang kita fokus pada materi yang akan kita pelajari hari ini,” pungkas bu Zahara mengakhiri perbincangan.

                 

                   ********

Siswa kelas 9C baru saja selesai berolahraga. Sebahagian siswa menyerbu kantin dan sebahagian lagi mengganti baju seragam di ruang ganti. Farhan, Andi dan Yuda berjalan beriringan menuju kelas, menyimpan raket bulutangkis yang mereka bawa ke dalam tas masing-masing.

“Ke kantin yuk,” ajak Yuda.

“Yuk, haus nih, “ sahut Andi.

Farhan tidak menghiraukan ajakan temannya. Dia tetap duduk di kursi sambil mengibas-ngibaskan rambutnya yang basah.

“Kamu gak ikut ke kantin, Han?” Tanya Yuda.

“Gak ah, lagi males. Kalian aja ya, aku sudah minum tadi,” sahut Farhan memberi alasan.

“Oh, ya sudah kalau begitu,” sahut mereka hampir berbarengan. Keduanya lantas meninggalkan Farhan sendirian di dalam kelas.

Begitu melihat kedua temannya sudah menghilang di balik pintu kelas, Farhan segera beraksi memeriksa tas temannya satu persatu. Alasannya saja malas pergi ke kantin padahal dia punya rencana lain yaitu ingin mengambil uang temannya. Kali ini sasarannya pada tas milik Mayang, salah seorang anak orang kaya di kelasnya.

Setelah selesai menjalankan aksinya, Farhan segera keluar kelas seperti tidak ada kejadian apa-apa. Sambil bersiul dia pergi kea rah ruang ganti untuk mengganti pakaian olahraga dengan seragam sekolah.

Pelajaran berikutnya adalah Seni Budaya. Bu Lela guru seni budaya menyuruh anak-anak mengeluarkan alat gambar. Farhan melirik ke arah Mayang, sepertinya Mayang belum sadar kalau uangnya hilang. Pelajaran seni budaya berlangsung dengan aman hingga jam terakhir.

Keesokan paginya kelas 9C kembali dihebohkan dengan berita kehilangan. Beberapa siswa kelihatan berkelompok membicarakannya. Di sudut kelas Yuda, Andi dan Dina sedang mengobrol dengan serius. Suara mereka tidak terdengar karena diucapkan dengan pelan alias berbisik.

“Benar, Din, kamu kok gak percaya sih?” ucap Yuda.

“Jangan sembarangan menuduh orang kalau tidak ada buktinya,” sahut Dina.

“Betul apa yang kamu katakana Din, tapi kami kok curiga ya kalau-kalau Farhan lah pelakunya,” timpal Andi.

“Hush,… jangan keras-keras, tidak enak kalau di dengar orang lain, apalagi kalau di dengar oleh Farhan,” sahut Dina mengingatkan temannya.

Keduanya langsung terdiam, saling berpandangan satu sama lain.

Jam pelajaran terkahir, bu Zahara wali kelas mereka masuk. Dari rona wajahnya kelihatan kalau beliau sedang kesal.

“Anak-anak ibu sekalian, ibu ingin berbicara sebentar. Ibu sudah minta ijin pada pak Rizal untuk menggunakan waktu pelajarannya sekitar 15 menit untuk membahas masalah pencurian yang terjadi akhir-akhir ini di kelas kita,” bu Zahara langsung ke pokok pembicaraan.

“Ibu sangat prihatin dengan hal tersebut. Awalnya Nadia yang kehilangan uang, lalu sekarang Mayang. Ibu mohon kepada kalian untuk berlaku jujur. Ibu tidak akan marah bila kalian mengakui perbuatan tersebut. Tentu kalian punya alasan-alasan tertentu di balik motif pencurian ini. Apapun itu, ibu akan berusaha memahaminya asalkan kalian mengaku secara jujur dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi,” pungkas bu Zahara.

“Kalian mengerti apa yang ibu maksud?” tanya bu Zahara sambil memandang wajah mereka satu persatu.

“Mengerti buu,… jawab mereka serentak.

 

********

Sudah dua minggu berlalu namun tidak ada satu orangpun dari siswa kelas 9C yang datang menjumpai bu Zahara. Dia bertanya-tanya dalam hati, jangan-jangan pencurinya bukan berasal dari kelas 9C, mungkin saja siswa dari kelas lain yang mengambil uang Nadia dan Mayang.

Pagi ini pelajaran pertama di kelas 9C adalah Bahasa Indonesia. Setelah membuka pelajaran, pak Rizal mengajak para siswa untuk belajar di perpustakaan, karena materi pelajaran pada hari itu adalah membedah buku fiksi. Perpustakaan yang letaknya cukup jauh dari ruang kelas 9C itu memang isinya lumayan lengkap. Banyak buku-buku bacaan tersedia disana. Setelah menjelaskan kegitan yang akan dilaksanakan dalam pembelajaran, para siswa semua berjalan menuju perpustakaan dengan membawa buku catatan dan alat tulis.

Sekitar dua puluh menit kemudian, Farhan meminta ijin untuk ke kamar kecil. Andi dan Yuda saling berpandangan dengan penuh arti. Tak lama setelah kepergian Farhan, mereka berdua juga minta ijin dengan alasan ingin membeli pulpen karena pulpen mereka macet. Pak Rizal memberikan ijin setelah terlebih dahulu berpesan agar mereka segera kembali ke perpustakaan begitu selesai membeli pulpen di koperasi sekolah.

Andi dan Yuda berjalan memutari kantin, menuju koperasi sekolah. Namun mereka tidak singgah ke koperasi melainkan langsung berjalan mengitari koperasi menuju arah ruang kelas 9C. Mereka berjalan dari arah belakang kelas. Sesampainya di belakang kelas, mereka mengintip ke dalam kelas melalui jendela yang tertutupi gorden. Benar dugaan mereka, Farhan terlihat sedang berada di dalam kelas, memeriksa tas Ayu, lalu mengambil uang yang berada didalam tasnya.

“Cepat Yud, kamu foto dia,” bisik Andi.

Yuda mengeluarkan handphone dari saku celananya lalu memotret Farhan dari balik jendela. Setelah memotret beberapa kali, mereka berjalan mengendap-ngendap kembali ke arah perpustakaan.

Seperti tidak ada kejadian apa-apa, Yuda dan Andi kembali belajar seperti biasa, demikian juga dengan Farhan yang menyusul lima menit kemudian. Setelah jam pelajaran bahasa Indonesia usai, mereka kembali ke kelasnya.

Andi dan Yuda menanti dengan was-was bagaimana reaksi Ayu begitu menyadari uangnya telah hilang. Namun mereka yakin, ini adalah kehilangan terakhir di kelasnya karena mereka sudah memiliki petunjuk dan bukti siapa pencurinya.

Ketika jam istirahat berbunyi, siswa kelas 9C bergegas ke kantin sekolah. Tiba-tiba terdengar teriakan kecil Ayu begitu menyadari uangnya telah raib. Teman-temannya berdatangan mengerumuni.

“Kenapa, Yu?” Tanya Andi pura-pura tidak tahu.

“Uang aku hilaang,” jawab Ayu. Airmata mulai memenuhi matanya yang bulat.

“Berapa?” Tanya Andi lagi.

“Dua puluh ribu,” isak Ayu.

“Kok jajan kamu banyak banget, Yu?” tanya Yuda.

“Jajanku cuma sepuluh ribu, tapi tadi pagi ibuku tidak punya uang kecil. Beliau bilang nanti pulang sekolah uangnya dikembalikan lagi sepuluh ribu,” Ayu berusaha menjelaskan sambil menangis.

“Ooo,… ya sudah, kamu lapor terus sama bu Zahara. Seharusnya uang tersebut kamu kantongi, jangan disimpan di dalam tas, kan kamu tahu sendiri bahwa kelas kita akhir-akhir ini sudah tidak aman,” ucap Yuda sambil melirik ke arah Farhan.

“Iya sih, biasanya juga gitu, tapi hari ini aku lupa,” sahut Ayu sambil menghapus air matanya.

“Yuk aku temani ke ruang dewan guru,” ucap Dina sambil memegang tangan Ayu. Keduanya lantas pergi menemui bu Zahara.

Setelah menerima laporan dari Ayu, bu Zahara duduk termenung di meja kerjanya. Hatinya bertanya-tanya siapa gerangan yang selama ini mencuri di kelasnya. Dia sudah melakukan pendekatan walau masih secara umum karena belum ketahuan siapa pelakunya, tapi sampai sejauh ini belum ada yang menemuinya untuk mengakui perbuatan tercela tersebut. Sebagai wali kelas, hatinya sungguh masygul mendapati kenyataan kalau kelasnya sudah tak aman lagi.

Suara ketukan di pintu diiringi ucapan salam membuyarkan lamunannya. Kedua anak didiknya, Yuda dan Andi berdiri di depan pintu kantor.

“Masuk Yuda, Andi,” ucap bu Zahara pada keduanya.

“Kalian mau bertemu ibu,” tanyanya sejurus kemudian.

“Iya, bu. Ada hal penting yang ingin kami sampaikan,” sahut Andi.

“Baiklah, kalau begitu kalian duduk disini,” bu Zahara mengambil dua buah kursi untuk Yuda dan Andi.

“Nah, coba katakana apa yang ingin kalian sampaiakan,” kata bu Zahara sambil menatap keduanya.

Mereka saling berpandangan, namun tidak ada yang mengeluarkan suara.

“Ayo, cepat katakan apa yang ingin kalian katakan,” ujar bu Zahara sambil menulis sesuatu di buku besar.

“Nngg,… begini bu,” Yuda akhirnya membuka suara.

“Kami tahu siapa yang selama ini mencuri uang di kelas kita, bu,” ucapnya dengan suara pelan.

Bu Zahara terkejut dan menatap keduanya secara bergantian.

“Maksud kalian, kalian sudah tahu dengan pasti siapa yang melakukan semua pencurian di kelas kita?” Tanya bu Zahara tidak yakin.

“Ya, bu. Kami sudah tahu siapa orangnya,” sahut Andi.

“Siapa orangnya?” selidik bu Zahara.

“Farhan, bu,” sahut kedua berbarengan.

“Farhan?” bu Zahara membelalakkan matanya tak percaya. “Kalian yakin?” tanyanya lagi.

“Kami yakin, bu. Awalnya kami sudah curiga sewaktu Nadia kehilangan uangnya. Saat itu hanya Farhan yang ada di kelas mengerjakan tugas dari bu Eka, sedangkan teman yang lain keluar jajan di kantin. Kejadian kedua sewaktu Mayang kehilangan uangnya. Waktu itu kami bertiga di kelas, lalu saya dan Andi keluar dan mengajak Farhan ke kantin tapi dia tidak mau. Kami curiga padanya ketika besok harinya Mayang mengaku kehilangan uang. Jadi kemarin sewaktu kami belajar di perpustakaan dan Farhan minta ijin ke kamar kecil, diam-diam kami mengikutinya dari belakang. Benar kecurigaan kami selama ini karena begitu kami tiba di kelas, kami pergoki Farhan sedang mengambil uang milik Ayu. Kami punya buktinya, bu,” jelas Yuda panjang lebar sambil menunjukkan foto Farhan di handphone nya.

Bu Zahara sangat terkejut mendengar penjelasan Yuda terlebih lagi setelah melihat foto di handphone  miliknya.  Jantungnya berdegup kencang antara percaya dan tidak. Jauh di lubuk hatinya yang paling dalam dia mengharapkan si pelaku bukanlah berasal dari kelasnya. Namun kenyataan yang ada di depan matanya sudah jelas bahwa Farhan pelakunya.

“Kalau melihat foto ini memang jelas bahwa Farhan pelakunya, tapi apakah dua kejadian sebelumnya juga dia pelakunya?” Tanya bu Zahara lebih ditujukan pada dirinya sendiri.

“Firasat kami sih begitu bu, tapi mungkin kalau ibu menyelidikinya langsung, ibu pasti akan dapat jawabannya,” sahut Yuda berdiplomasi. Bu Zahara kaget mendengar jawaban Yuda. Siswanya yang satu ini memang terlihat lebih dewasa dari temannya yang lain. Gaya berbicaranya sopan dan lembut. Caranya menyampaikan pendapat selalu terkesan hati-hati.

“Baiklah, ibu akan panggil Farhan besok. Terimaksih atas informasi kalian. Namu ibu harap berita ini jangan kalian kembangkan. Biarlah hal ini jadi rahasia kita bertiga. Ibu tidak ingin mempermalukan Farhan,” ucap bu Zahara pada keduanya.

“Tentu, bu. Kami juga tidak ingin mempermalukan dia karena dia juga teman kami,” sahut Yuda.

“Terimakasih atas pengertian kalian, sekarang kembalilah ke kelas, biar persoalan ini ibu yang selesaikan,” ujar bu Zahara menyudahi percakapan. Mereka pun pamit dan kembali ke kelasnya.

*********

“Farhaaann, cepat bangun, nak,” terdengar suara bu Minah membangunkan anaknya. Dengan malas-malasan Farhan bangun dari tempat tidurnya, mencuci muka lalu membantu ibunya di dapur menggoreng kue untuk di titipkan ke warung-warung. Jam menunjukkan pukul empat subuh namun mereka sudah berjuang di dapur menyiapkan berbagai jenis kue basah. Bu Minah seorang janda yang ditinggal mati oleh suaminya lima tahun yang lalu. Sendirian dia bekerja menghidupi keempat orang anaknya yang masih kecil-kecil. Untunglah Farhan anak tertuanya sekarang sudah duduk di kelas tiga SMP, sudah bisa membantunya mencari rezeki. Setelah semua kue selesai di buat maka Farhan yang mengantarkannya ke warung-warung di kampung mereka dan kampung tetangga.

Ketika  sudah selesai mengantarkan kue ke warung terakhir, Farhan buru-buru pulang lalu mandi dan berpakaian tanpa sempat sarapan. Setelah berpamitan pada ibunya, dia langsung berlari tak menyadari bahwa ada seorang wanita yang memperhatikannya dari seberang jalan.

Wanita tersebut berjalan menuju rumahnya dan mengetuk pintu.

“Assalamu’alaikum,” ucapnya di depan pintu yang tertutup. Tak ada jawaban dari dalam. Setelah kembali mengetuk sambil mengucap salam, sesosok wanita paruh baya muncul di balik pintu.

“Wa’alaikumsalam,” sahutnya sambil menatap bingung wanita yang berada di depannya.

“Maaf bu mengganggu sebentar. Perkenalkan, saya Zahara, wali kelasnya Farhan,” ucap wanita itu memperkenalkan diri.

“Ooh, wali kelasnya Farhan. Silahkan masuk, bu. Maaf rumah saya berantakan begini, maklum saya jualan dan anak-anak masih kecil belum ada yang bisa membantu,” ucapnya salah tingkah.

“Tidak apa-apa bu, saya maklum,” ucap bu Zahara sambil duduk di kursi satu-satunya yang ada di ruangan tersebut.

Rumah ini sangat sederhana, bathinnya. Hanya beralaskan tanah dan atap rumbia, tipikal rumah kebanyakan di kampung ini. Tak ada barang berharga di ruang tamu ini, hanya ada kursi plastik dan lemari usang di sudut ruang, kelihatan penuh sesak dengan pakaian.

Bu Minah menarik sebuah kursi lagi dari arah dapur lalu duduk berhadap-hadapn dengan bu Zahara.

“Saya kemari hanya ingin melihat kehidupan ibu dan Farhan dari dekat, bu,” ucap bu Zahara menjelaskan maksud kedatangannya.

“Apakah anak saya ada berbuat suatu kesalahan, bu?” bu Minah bertanya dengan nada cemas.

“Oh, tidak ada, bu. Ibu tidak perlu khawatir. Saya datang kemari hanya ingin memastikan saja apa penyebab Farhan sering terlambat tiba di sekolah dan juga sering tertidur di kelas,” bu Zahara berusaha bersikap setenang mungkin seolah tidak ada kejadian apapun.

“Oh, maafkan saya bu. Sayalah yang menyebabkan Farhan sering terlambat datang ke sekolah. Farhan saya suruh mengantarkan kue-kue dagangan saya ke warung-warung langganan, setelah itu barulah dia berangkat ke sekolah. Jam empat subuh dia sudah saya bangunkan untuk membantu saya membuat kue-kue, mungkin itu sebabnya dia sering tertidur di kelas. Saya juga sebenarnya khawatir Farhan akan terganggu belajarnya namun apa boleh buat bu, hanya itulah satu-satunya mata pencaharian saya selama ini bu, sejak ayahnya meninggal beberapa tahun yang lalu,” ucap ibu Farhan sambil sesekali menyeka air matanya.

Bu Zahara terhenyak di tempat duduknya. Dadanya sesak mendengar penjelasan ibunda Farhan. Tak terasa airmata bergulir di pipinya. Ternyata inilah penyebab Farhan sering terlambat tiba di sekolah selama ini.

Setelah minum teh dan mengobrol panjang lebar dengan bu Minah, bu Zahara segera berpamitan pulang. Hatinya terasa sedih melihat nasib Farhan, namun dia tetap harus mengajak Farhan berbicara dari hati ke hati tentang kasus kehilangan yang terjadi di kelas mereka selama ini.

*********

Setelah lonceng usai istirahat berbunyi, bu Zahara segera memanggil Farhan ke ruangannya. Mereka duduk saling berhadapan dipisahkan dengan meja kecil. Setelah terdiam beberapa saat, bu Zahara segera memulai percakapan.

“Farhan, kamu tahu mengapa kamu ibu panggil ke ruangan ibu?” Tanya bu Zahara memulai percakapan. Farhan hanya tertunduk sambil menggelengkan kepala.

“Ada beberapa hal yang ingin ibu tanyakan pada kamu. Ibu harap kamu menjawabnya dengan jujur. Jangan takut, ini hanya antara kita berdua saja. Tidak ada orang lain di ruangna ini, jadi tidak ada yang mendengar percakapan kita,” lanjut bu Zahara seraya menatap Farhan lekat-lekat.

Farhan terlihat semakin menundukkan kepalanya. Hatinya berdebar, ada rasa takut yang tiba-tiba menyergap bathinnya. Duduknya mulai gelisah, keringat dingin mulai keluar dari pori-porinya.

Bu Zahara tahu kegelisahan yang dialami Farhan, maka dia dengan tenang bertanya lagi.

“Kamu tahu Farhan apa hukumnya kalau kita berbohong?”  tanya bu Zahara.

“Berdosa, bu,” jawabnya perlahan nyaris tak terdengar.

“Bagus, kalau kita main judi atau membunuh?” lanjutnya lagi.

“Berdosa juga, bu,” suaranya makin pelan.

“Nah, kalau kita mencuri, apa hukumnya?” bu Zahara kembali bertanya dengan suara lembut.

“Berdosa juga, bu,” kali ini dia menjawab sambil berbisik.

“Baiklah Farhan, ibu ingin bertanya kepada kamu. Tolong kamu jawab dengan jujur. Seperti jawaban kamu tadi bahwa kalau kita berbohong maka hukumnya berdosa. Apakah kamu tahu siapa yang sering mengambil uang di kelas kita?” bu Zahara langsung bertanya ke inti persoalan.

Farhan terlihat ragu untuk menjawab. Dia hanya terdiam sambil menundukkan wajah. Berbagai perasaan berkecamuk dalam dadanya. Antara ingin berkata jujur atau berbohong.

“Farhan, coba tatap mata ibu, lalu jawab dengan jujur apakah kamu tahu siapa yang mencuri uang Nadia, Mayang dan Ayu?” bu Zahara kembali bertanya dengan suara lembut namun tegas.

Perlahan Farhan mengangkat wajahnya dan menatap wajah bu Zahara. Namun seketika wajahnya kembali tertunduk. Dia tidak berani menatap mata bu Zahara. Dia takut kebohongannya akan terbaca.

“Kenapa kamu takut menatap mata ibu, Farhan?” tanya bu Zahara.

“Sekarang, tatap mata ibu dan jawab pertanyaan ibu dengan jujur!” perintah bu Zahara tak terbantahkan.

Perlahan-lahan Farhan mengangkat wajahnya lalu menatap wajah bu Zahara. Air mata tampak mengambang di kedua matanya. Dadanya turun naik menahan tangis yang hampir pecah.

“Ma…maafkan sa…saya bu. Saya mengaku salah. Sayalah yang sudah mengambil uang teman-teman di kelas, uang Nadia, Mayang dan Ayu. Saya minta maaf bu. Saya salah,” ucap Farhan dengan suara bergetar bercampur tangis.

Bu Zahara menghela nafas lega. Akhirnya keluar juga pengakuan itu dari mulut Farhan. Dia tidak menyangka Farhan begitu mudah mengakui perbuatannya. Padahal dia tidak membentak atau memarahinya, cukup dengan mengajukan beberapa pertanyaan yang harus dijawabnya dengan jujur, namun karena memang dasarnya Farhan anak yang baik maka dia dengan cepat mengakui semua perbuatannya.

“Ibu hargai kejujuran kamu, Farhan. Ibu bangga karena kamu mau mengakui kesalahan kamu,” ucap bu Zahara sambil menepuk bahunya.

“Seperti yang ibu janjikan tadi, percakapan ini hanya antara kita berdua. Kamu jangan khawatir, ibu tidak akan menceritakan hal ini pada siapapun, asalkan kamu mau berjanji pada ibu,” lanjut bu Zahara.

Farhan mengangkat wajahnya sambil menghapus air matanya.

“Ibu tidak akan memberitahukan pada teman-teman bahwa saya yang melakukannya?” tanyanya seolah tak percaya.

Bu Zahara tersenyum sambil menganggukkan kepalanya.

“Benar Farhan, ibu berjanji akan menyimpan rahasia ini rapat-rapat. Ini akan menjadi rahasia kita berdua. Asalkan kamu berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatan kamu ini,” bu Zahara berkata dengan tegas.

Farhan hampir tak percaya dengan apa yang didengarnya. Awalnya dia berfikir bahwa bu Zahara akan menyuruhnya mengakui perbuatannnya di hadapan teman-temannya. Dia menyangka bu Zahara akan memepermalukannya agar dia jera dan tidak akan mengulangi perbuatan mencuri lagi. Namun ternyata dugaannya salah besar. Bu Zahara ternyata tidak berniat seperti itu. Bu Zahara tidak berniat mempermalukannya di hadapan teman-temannya. Hatinya merasa lega.

“Saya berjanji tidak akan mengulangi perbuatan saya lagi bu,” Farhan berkata dengan sungguh-sungguh.

“Benar kamu berjanji pada ibu tidak akan mengulangi perbuatan itu lagi?” bu Zahara mengulangi pertanyaannya untuk memastikan ucapan Farhan barusan.

“Betul, bu. Saya berjanji dengan sungguh-sungguh,” ucapnya sambil mengangguk-anggukkan kepalanya untuk meyakinkan bu Zahara.

Bu Zahara tersenyum sambil mengelus kepala Farhan.

“Ibu percaya dengan janji kamu. Ibu yakin kamu akan menepatinya. Kamu juga harus berjanji pada diri kamu sendiri bahwa kamu akan menjadi Farhan yang lebih baik. Farhan yang jujur dan tidak akan mengulangi kesalahan yang sama,” pungkas bu Zahara.

“Sekarang kembalilah ke kelasmu. Bersikaplah seolah tak pernah terjadi apa-apa. Ibu ingin kamu kembali ceria seperti biasa, jangan sampai hal ini mempengaruhi semangat belajarmu. Ingat, ujian sudah dekat, oke?” ucap bu Zahara memberikannya semangat.

Farhan menganggukkan kepalanya. Dia segera bangkit dari tempat duduknya. Hatinya merasa lega sekarang, dadanya terasa ringan. Disalami dan diciumnya tangan wali kelasnya yang baik hati dan bijaksana itu sebelum meninggalkan ruangan. Dengan langkah pasti dia menuju ruang kelas. Senyuman manis tersungging di bibirnya.

 

Selesai

 

No comments:

Post a Comment