Tertangkap Basah
Pelajaran IPA di
kelas 9C baru berjalan sekitar 30 menit ketika terdengar suara ketukan di
pintu.
“Masuk,” ucap bu
Eka terdengar nyaring.
“Assalamu’alaikum,
bu. Selamat pagi,” ujar sebuah suara yang ternyata berasal dari seorang siswa
bernama Farhan.
“Waalaikumsalam,
silakan masuk,” ucap bu Eka. Farhan melangkah memasuki kelas sambil tertunduk.
Tangannya memegang selembar kertas izin masuk dari piket. Bu Eka menggeleng-gelengkan
kepalanya.
“Telat lagi
Farhan?” ucap bu Eka sambil mengambil kertas yang disodorkan Farhan. Farhan
hanya menganggukkan kepalanya.
“Ini sudah
kesekian kalinya kamu terlambat masuk pada jam pelajaran ibu,” ujar bu Eka
dengan lembut. Ibu guru yang satu ini memang terkenal paling lembut pada
siswanya. Hampir tidak pernah marah, selalu sabar dalam menghadapi kelakuan
para siswa. Tak heran kalau bu Eka selalu mendapat predikat guru favorit di
sekolahnya. Semua siswa menyukai bu Eka, karena beliau terlalu sabar dalam
menghadapi kenakalan para siswa.
“Iya bu, saya
minta maaf. Saya berjanji tidak akan terlambat lagi,” lirih terdengar suara
Farhan.
“Hmm… ya
sudahlah. Kamu duduk sana, langsung buka buku pelajarannya ya,” bu Eka
memerintahkan Farhan untuk duduk.
Farhan berjalan
gontai menuju kursinya. Dia duduk di sebelah Andi. Baru saja dia meletakkan
pinggulnya di kursi, suara bu Eka sudah kembali terdengar menjelaskan
pelajaran.
“Nah anak-anak
sekalian, kita lanjutkan lagi pelajaran kita tentang pewarisan sifat pada
makhluk hidup. Tadi kalian sudah mengamati bentuk wajah, bentuk rambut, warna
kulit, postur tubuh dan sifat lainnya yang berbeda antara kalian dan
teman-teman kalian. Mari kita diskusikan bagaimana karakteristik seseorang
diturunkan dari orang tuanya,” jelas bu Eka dengan suara nyaring.
“Bu, kalau
seseorang tubuhnya gendut berarti orang tuanya gendut juga kan bu? Contohnya si
Mamat nih bu. Badannya gendut kayak ibunya, hahaha… “ Irsyad tertawa sambil
menunjuk ke arah Mamat. Seisi kelas ikut tertawa. Mamat terlihat cemberut.
Wajahnya memerah pertanda marah dan malu.
“Sudah…sudah,”
tukas bu Eka mencoba melerai candaan siswanya.
“Mamat, kamu
jangan tersinggung ya. Kita memang akan mempelajari karakteristik setiap
makhluk hidup yang disebut gen. Melalui gen ini pula karakteristik tubuh kita
mirip dengan orang tua kita,” lanjut bu Eka lagi.
“Nah, benar kan
apa saya bilang,” Irsyad berkata sambil membusungkan dadanya.
“Ya, benar
Irsyad. Makanya kita harus selalu bersyukur kepada Allah dengan adanya gen-gen
ini. Kekurangan satu gen saja bisa menyebabkan kelainan pada karakteristik
tubuh kita. Tahukah kalian dimana letak gen? Bagaimana proses pewarisan gen-gen
dari orang tua kepada keturunannya? Dapatkah kita mengubah gen-gen suatu
makhluk hidup misalnya padi sehingga kita dapat meningkatkan hasil produksinya?
Tentunya kalian sangat tertarik bukan untuk mengetahui jawabannya?” bu Eka
menjelaskan dengan bersemangat.
“Nah, sekarang
kita bentuk kelompok ya. Ibu akan bagi kelas ini menjadi enam kelompok, setiap
kelompok terdiri dari 5 orang siswa. Ayo kita mulai menghitung dari angka 1
sampai 6. Dimulai dari kamu, Indra,” perintah bu Eka. Indra mulai menghitung.
Ketika tiba giliran Farhan menghitung, suara hitungan tiba-tiba lenyap. Bu Eka
mengerutkan kening dan melihat ke meja Farhan. Ternyata Farhan sedang tidur
dengan pulasnya.
“Farhan!” bu Eka
memanggil dengan suara agak keras. Farhan tidak menyahut. Dengan kesal bu Eka
mendatanginya. Bahu Farhan digoyang-goyangnya dengan gemas.
“Bangun Farhan,”
bu Eka kembali bersuara. Farhan tersentak kaget. Sambil mengucek-ngucek matanya
dia melihat ke sekeliling. Semua teman-temannya menertawainya. Bu Eka menarik
nafas panjang berusaha sabar seperti biasanya.
“Ulangi menghitungnya,
ya,” ucapnya. Siswa kelas 9C kembali menghitung.
“Nah, sekarang
yang memiliki angka 1 duduk dengan yang memiliki angka 1 ya. Demikian juga yang
memiliki angka 2, 3 4 ,5 dan 6. Masing-masing duduk dengan temannya yang
memiliki angka hitungan yang sama,” terang bu Eka membagi kelompok.
Semua siswa
bergerak membentuk kelompok masing-masing. Farhan dengan terkantuk-kantuk
menyeret langkahnya mencari teman satu kelompoknya. Setelah bergabung dengan
kelompoknya, Farhan kembali melanjutkan tidurnya yang sempat terganggu tadi.
“Hei Farhan, kamu
jangan tidur lagi,” ucap Yanti yang berada satu kelompok dengannya.
“Iya, nanti bu
Eka marah, lho,” tukas Dina yang duduk di sebelah Yanti.
“Aahh,… biar aja.
Aku ngantuk sekali nih. Bu Eka ga akan marah kok, beliau kan guru paling baik
sedunia,” timpal Farhan sambil menguap lalu kembali menelungkupkan kepalanya ke
atas meja.
“Ya sudah kalau
gak mau dengar,” sungut Dina lagi.
“Nah anak-anak
sekalian. Pada pertemuan yang lalu, ibu sudah menyuruh kalian untuk membawa
foto anggota keluarga masing-masing. Sekarang tugas kalian adalah perhatikan
foto anggota keluarga kalian dan foto anggota keluarga teman kalian satu
kelompok. Tulislah karakteristik apa saja yang dapat kalian temukan pada
anggota keluarga kalian dan teman kalian pada tabel yang sudah ibu bagikan
minggu lalu. Waktunya 30 menit,” ucap bu Eka.
Semua siswa
bekerja dengan serius. Bu Eka berjalan berkeliling memantau pekerjaan
murid-muridnya. Tiba pada kelompok Farhan, bu Eka menghentikan langkahnya.
Farhan terlihat kembali tertidur dengan pulasnya. Bu Eka sudah tidak tahan lagi
melihat kelakuan Farhan. Dengan gemas, ditepuknya bahu Farhan. Farhan tersentak
bangun. Bu Eka terlihat berdiri berkacak pinggang di hadapannya. Wajah bu Eka
terlihat marah. Farhan belum pernah melihat wajah bu Eka segusar itu.
“Farhan, kamu
sekarang keluar cuci muka, lalu kamu pindah duduk di kursi ibu ,” ujar bu Eka
dengan nada sedikit tinggi. Farhan mematuhi perintah bu Eka, lantas keluar
kelas menuju kamar mandi siswa yang berada di dekat kantin.
Sekembalinya
Farhan dari kamar mandi, teman-temannya terlihat sudah ada yang menyelesaikan
pekerjaannya. Tak lama kemudian bel istirahat berbunyi, bu Eka segera berkemas untuk meninggalkan kelas.
Tapi sebelum meninggalkan kelas, beliau menghampiri Farhan.
“Farhan, kamu
sudah melakukan dua kesalahan sekaligus pada jam pelajaran ibu,” ujar bu Eka
menatap wajah Farhan. Yang ditatap hanya menundukkan kepalanya tanda bersalah.
“Kesalahan yang
pertama adalah terlambat. Kesalahan yang ke dua adalah tidur di kelas. Jadi
untuk menebus kesalahan kamu, kamu harus mengumpulkan tugas seperti yang
dikerjakan teman-temanmu tadi, tapi kamu mengerjakannya secara individu bukan
kelompok. Jelas?” ujar bu Eka tegas. Farhan hanya menganggukkan kepalanya.
“Kamu kerjakan
saat jam istirahat ini, lalu ketika bel masuk berbunyi, langsung kamu serahkan
ke ibu. Manfaatkan waktu istirahat selama 30 menit ini dengan baik, kalau tidak
ibu akan panggil orang tua kamu,” ucap bu Eka setengah mengancam. Farhan
terkejut mendengarnya. Belum pernah bu Eka menghukumnya seperti ini, pasti
karena kesalahannya kali ini tidak bisa lagi ditolerir oleh beliau, gumamnya
dalam hati.
Dengan terpaksa
Farhan kembali duduk di bangkunya, mengurungkan niatnya ingin jajan ke kantin.
Semua teman-temannya sudah keluar, tinggal dia sendirian di kelas.
Dikeluarkannya pulpen dan Lembar Kerja Siswa yang dibagikan bu Eka minggu lalu,
lalu berusaha konsentrasi mengerjakan tugasnya.
Tinggal 5 menit
lagi waktu istirahat tersisa, Farhan hampir rampung menyelesaikan tugasnya. Dia
tidak ingin orang tuanya di panggil karena kesalahannya. Kasihan ibunya yang
sudah tua dan sakit-sakitan harus datang menemui wali kelasnya karena
kesalahannya.
Ketika dia ingin
menyimpan pulpen dan buku paketnya ke dalam laci, tiba-tiba matanya melihat ke
arah tas Nadia yang berada di dalam laci meja tak jauh dari mejanya. Tas
tersebut terbuka sedikit resletingnya, dan dompet warna merah jambu terlihat
sedikit menyembul keluar. Farhan melihat sekelilingnya, belum ada satu orangpun
temannya yang masuk kelas. Perlahan didekatinya tas tersebut dan membuka dompet
yang terdapat di dalamnya. Awalnya penasaran ingin melihat isinya. Seketika
matanya melotot melihat isi dompet yang terdiri dari uang puluhan ribu. Tanpa
sadar tangannya mengambil uang pecahan sepuluh ribu beberapa lembar lantas
buru-buru mengembalikan dompet itu ke tempatnya semula lalu bergegas keluar
menuju kantor dewan guru.
*********
Keesokan harinya
berita bahwa Nadia kehilangan uang dengan cepat menyebar ke seantero kelas.
Farhan yang kemudian muncul belakangan di kelas tepat ketika lonceng masuk
berbunyi terlihat berusaha bersikap sewajar mungkin. Sambil bersiul riang dia
meletakkan tasnya di meja lalu bergabung dengan kelompok Andi yang sedang
mengobrol.
“Ada apa sih,”
tanyanya pura-pura tidak tahu.
“Nadia kehilangan
uang lima puluh ribu rupiah di dompetnya,” sahut Andi teman sebangkunya.
“Padahal itu uang kas kelas yang rencananya akan dia serahkan ke bu Zahara,”
lanjut Andi lagi.
“Kok bisa hilang
ya,” sahut Dina. “Siapa ya yang mengambilnya. Kasihan Nadia, sebagai bendahara
kelas dia harus bertanggung jawab ata kehilangan uang tersebut,” lanjutnya
lagi.
“Ah,… mungkin terselip
atau salah hitung barangkali,” Farhan
menimpali ucapan Dina. Dina yang mendengar jawaban Farhan hanya mengangkat
bahu. Tak lama kemudian bu Zahara wali kelas 9C masuk hendak memberikan
pelajaran bahasa Inggris.
“Good morning,
class,” ucap bu Zahara mengawali pelajaran.
“Good morning,
Mam,” siswa kelas 9C menyahut serempak.
“How are you,
today?” tanya bu Zahara lagi.
“I’m fine, thanks
and how about you?” sahut mereka lagi.
“Very well, thank
you,” bu Zahara menjawab sambil tersenyum.
“Okay class,
today we are going to study about narrative text. Who have been studied about
the text?” bu Zahara bertanya dengan suara nyaring. Tidak ada yang menyahut,
para siswa masih sibuk berbisik-bisik tentang uang Nadia yang hilang. Bu Zahara
mengerutkan dahinya. Otaknya menangkap dengan cepat bahwa ada sesuatu yang
tidak beres di kelas tersebut, namun dia berusaha mengabaikannya.
“Have you ever
read about Malinkundang’s story?” bu
Zahara melanjutkan pertanyaannya lagi. Kali ini juga tidak ada siswa yang
menjawab. Bu Zahara melemparkan pandangan ke sudut kelas. Beberapa anak
kelihatan asyik mengobrol merundingkan sesuatu.
“Sulastri, apa
yang sedang kalian obrolkan. Kelihatannya sangat penting dan seru sekali. Kalau
boleh ibu ingin mendengarnya juga dong,”
bu Zahara mendekati tempat duduk Sulastri dan teman-temannya. Seketika mereka
terdiam, namun di sudut yang lain sekelompok anak kembali berbicara meski
berbisik-bisik. Bu Zahara semakin curiga ada sesuatu yang tidak beres.
“Ada apa ya? Kok
ibu merasa ada sesuatu yang terjadi di kelas ini. What’s happen Siska?” bu
Zahara bertanya pada Siska sang sekretaris kelas.
Siska terlihat
bingung dan salah tingkah. Matanya melirik ke arah Nadia. Barulah bu Zahara
sadar ketika melihat mata Nadia yang merah seperti habis menangis.
“What’s wrong
with you, Nadia? Kenapa kamu menangis?” Tanya bu Zahara pada Nadia.
“Nadia kehilangan
uang, bu,” sebuah suara menyahut dari belakang. Bu Zahara menoleh kearah sumber
suara. Ternyata Aldi sang ketua kelas yang angkat bicara.
“Benar Nadia?
Kamu kehilangan uang?” tanya bu Zahara. Nadia menganggukkan kepalanya.
“Berapa?” tanya
bu Zahara lagi.
“Lima puluh ribu
rupiah, bu,” sahut Nadia.
“Dimana uang
tersebut kamu letakkan?”
“Di dalam tas
saya, bu,” sahutnya lagi.
“Kapan kamu sadar
uang itu sudah tidak ada lagi?” tanya bu Zahara.
“Tadi malam bu,
sewaktu saya mau menghitung jumlah uang kas untuk minggu ini,” ujarnya lagi.
Bu Zahara
mengerutkan dahi, beliau terlihat memikirkan sesuatu.
“Baiklah, masalah
tersebut untuk sementara kita tinggalkan dulu, sekarang kita fokus pada materi
yang akan kita pelajari hari ini,” pungkas bu Zahara mengakhiri perbincangan.
********
Siswa kelas 9C
baru saja selesai berolahraga. Sebahagian siswa menyerbu kantin dan sebahagian
lagi mengganti baju seragam di ruang ganti. Farhan, Andi dan Yuda berjalan
beriringan menuju kelas, menyimpan raket bulutangkis yang mereka bawa ke dalam
tas masing-masing.
“Ke kantin yuk,”
ajak Yuda.
“Yuk, haus nih, “
sahut Andi.
Farhan tidak
menghiraukan ajakan temannya. Dia tetap duduk di kursi sambil
mengibas-ngibaskan rambutnya yang basah.
“Kamu gak ikut ke
kantin, Han?” Tanya Yuda.
“Gak ah, lagi
males. Kalian aja ya, aku sudah minum tadi,” sahut Farhan memberi alasan.
“Oh, ya sudah kalau
begitu,” sahut mereka hampir berbarengan. Keduanya lantas meninggalkan Farhan
sendirian di dalam kelas.
Begitu melihat
kedua temannya sudah menghilang di balik pintu kelas, Farhan segera beraksi
memeriksa tas temannya satu persatu. Alasannya saja malas pergi ke kantin
padahal dia punya rencana lain yaitu ingin mengambil uang temannya. Kali ini
sasarannya pada tas milik Mayang, salah seorang anak orang kaya di kelasnya.
Setelah selesai
menjalankan aksinya, Farhan segera keluar kelas seperti tidak ada kejadian
apa-apa. Sambil bersiul dia pergi kea rah ruang ganti untuk mengganti pakaian
olahraga dengan seragam sekolah.
Pelajaran
berikutnya adalah Seni Budaya. Bu Lela guru seni budaya menyuruh anak-anak
mengeluarkan alat gambar. Farhan melirik ke arah Mayang, sepertinya Mayang
belum sadar kalau uangnya hilang. Pelajaran seni budaya berlangsung dengan aman
hingga jam terakhir.
Keesokan paginya
kelas 9C kembali dihebohkan dengan berita kehilangan. Beberapa siswa kelihatan
berkelompok membicarakannya. Di sudut kelas Yuda, Andi dan Dina sedang
mengobrol dengan serius. Suara mereka tidak terdengar karena diucapkan dengan
pelan alias berbisik.
“Benar, Din, kamu
kok gak percaya sih?” ucap Yuda.
“Jangan
sembarangan menuduh orang kalau tidak ada buktinya,” sahut Dina.
“Betul apa yang
kamu katakana Din, tapi kami kok curiga ya kalau-kalau Farhan lah pelakunya,”
timpal Andi.
“Hush,… jangan
keras-keras, tidak enak kalau di dengar orang lain, apalagi kalau di dengar
oleh Farhan,” sahut Dina mengingatkan temannya.
Keduanya langsung
terdiam, saling berpandangan satu sama lain.
Jam pelajaran
terkahir, bu Zahara wali kelas mereka masuk. Dari rona wajahnya kelihatan kalau
beliau sedang kesal.
“Anak-anak ibu
sekalian, ibu ingin berbicara sebentar. Ibu sudah minta ijin pada pak Rizal
untuk menggunakan waktu pelajarannya sekitar 15 menit untuk membahas masalah
pencurian yang terjadi akhir-akhir ini di kelas kita,” bu Zahara langsung ke
pokok pembicaraan.
“Ibu sangat
prihatin dengan hal tersebut. Awalnya Nadia yang kehilangan uang, lalu sekarang
Mayang. Ibu mohon kepada kalian untuk berlaku jujur. Ibu tidak akan marah bila
kalian mengakui perbuatan tersebut. Tentu kalian punya alasan-alasan tertentu
di balik motif pencurian ini. Apapun itu, ibu akan berusaha memahaminya asalkan
kalian mengaku secara jujur dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi,”
pungkas bu Zahara.
“Kalian mengerti
apa yang ibu maksud?” tanya bu Zahara sambil memandang wajah mereka satu persatu.
“Mengerti buu,…
jawab mereka serentak.
********
Sudah dua minggu
berlalu namun tidak ada satu orangpun dari siswa kelas 9C yang datang menjumpai
bu Zahara. Dia bertanya-tanya dalam hati, jangan-jangan pencurinya bukan
berasal dari kelas 9C, mungkin saja siswa dari kelas lain yang mengambil uang
Nadia dan Mayang.
Pagi ini
pelajaran pertama di kelas 9C adalah Bahasa Indonesia. Setelah membuka
pelajaran, pak Rizal mengajak para siswa untuk belajar di perpustakaan, karena
materi pelajaran pada hari itu adalah membedah buku fiksi. Perpustakaan yang
letaknya cukup jauh dari ruang kelas 9C itu memang isinya lumayan lengkap.
Banyak buku-buku bacaan tersedia disana. Setelah menjelaskan kegitan yang akan
dilaksanakan dalam pembelajaran, para siswa semua berjalan menuju perpustakaan
dengan membawa buku catatan dan alat tulis.
Sekitar dua puluh
menit kemudian, Farhan meminta ijin untuk ke kamar kecil. Andi dan Yuda saling
berpandangan dengan penuh arti. Tak lama setelah kepergian Farhan, mereka
berdua juga minta ijin dengan alasan ingin membeli pulpen karena pulpen mereka
macet. Pak Rizal memberikan ijin setelah terlebih dahulu berpesan agar mereka
segera kembali ke perpustakaan begitu selesai membeli pulpen di koperasi
sekolah.
Andi dan Yuda
berjalan memutari kantin, menuju koperasi sekolah. Namun mereka tidak singgah
ke koperasi melainkan langsung berjalan mengitari koperasi menuju arah ruang
kelas 9C. Mereka berjalan dari arah belakang kelas. Sesampainya di belakang
kelas, mereka mengintip ke dalam kelas melalui jendela yang tertutupi gorden.
Benar dugaan mereka, Farhan terlihat sedang berada di dalam kelas, memeriksa
tas Ayu, lalu mengambil uang yang berada didalam tasnya.
“Cepat Yud, kamu
foto dia,” bisik Andi.
Yuda mengeluarkan
handphone dari saku celananya lalu memotret Farhan dari balik jendela. Setelah
memotret beberapa kali, mereka berjalan mengendap-ngendap kembali ke arah
perpustakaan.
Seperti tidak ada
kejadian apa-apa, Yuda dan Andi kembali belajar seperti biasa, demikian juga
dengan Farhan yang menyusul lima menit kemudian. Setelah jam pelajaran bahasa
Indonesia usai, mereka kembali ke kelasnya.
Andi dan Yuda
menanti dengan was-was bagaimana reaksi Ayu begitu menyadari uangnya telah
hilang. Namun mereka yakin, ini adalah kehilangan terakhir di kelasnya karena
mereka sudah memiliki petunjuk dan bukti siapa pencurinya.
Ketika jam
istirahat berbunyi, siswa kelas 9C bergegas ke kantin sekolah. Tiba-tiba
terdengar teriakan kecil Ayu begitu menyadari uangnya telah raib. Teman-temannya
berdatangan mengerumuni.
“Kenapa, Yu?”
Tanya Andi pura-pura tidak tahu.
“Uang aku
hilaang,” jawab Ayu. Airmata mulai memenuhi matanya yang bulat.
“Berapa?” Tanya
Andi lagi.
“Dua puluh ribu,”
isak Ayu.
“Kok jajan kamu
banyak banget, Yu?” tanya Yuda.
“Jajanku cuma
sepuluh ribu, tapi tadi pagi ibuku tidak punya uang kecil. Beliau bilang nanti
pulang sekolah uangnya dikembalikan lagi sepuluh ribu,” Ayu berusaha
menjelaskan sambil menangis.
“Ooo,… ya sudah,
kamu lapor terus sama bu Zahara. Seharusnya uang tersebut kamu kantongi, jangan
disimpan di dalam tas, kan kamu tahu sendiri bahwa kelas kita akhir-akhir ini
sudah tidak aman,” ucap Yuda sambil melirik ke arah Farhan.
“Iya sih,
biasanya juga gitu, tapi hari ini aku lupa,” sahut Ayu sambil menghapus air
matanya.
“Yuk aku temani
ke ruang dewan guru,” ucap Dina sambil memegang tangan Ayu. Keduanya lantas
pergi menemui bu Zahara.
Setelah menerima
laporan dari Ayu, bu Zahara duduk termenung di meja kerjanya. Hatinya
bertanya-tanya siapa gerangan yang selama ini mencuri di kelasnya. Dia sudah
melakukan pendekatan walau masih secara umum karena belum ketahuan siapa
pelakunya, tapi sampai sejauh ini belum ada yang menemuinya untuk mengakui
perbuatan tercela tersebut. Sebagai wali kelas, hatinya sungguh masygul
mendapati kenyataan kalau kelasnya sudah tak aman lagi.
Suara ketukan di
pintu diiringi ucapan salam membuyarkan lamunannya. Kedua anak didiknya, Yuda
dan Andi berdiri di depan pintu kantor.
“Masuk Yuda,
Andi,” ucap bu Zahara pada keduanya.
“Kalian mau
bertemu ibu,” tanyanya sejurus kemudian.
“Iya, bu. Ada hal
penting yang ingin kami sampaikan,” sahut Andi.
“Baiklah, kalau
begitu kalian duduk disini,” bu Zahara mengambil dua buah kursi untuk Yuda dan
Andi.
“Nah, coba
katakana apa yang ingin kalian sampaiakan,” kata bu Zahara sambil menatap
keduanya.
Mereka saling
berpandangan, namun tidak ada yang mengeluarkan suara.
“Ayo, cepat
katakan apa yang ingin kalian katakan,” ujar bu Zahara sambil menulis sesuatu
di buku besar.
“Nngg,… begini
bu,” Yuda akhirnya membuka suara.
“Kami tahu siapa
yang selama ini mencuri uang di kelas kita, bu,” ucapnya dengan suara pelan.
Bu Zahara
terkejut dan menatap keduanya secara bergantian.
“Maksud kalian,
kalian sudah tahu dengan pasti siapa yang melakukan semua pencurian di kelas
kita?” Tanya bu Zahara tidak yakin.
“Ya, bu. Kami
sudah tahu siapa orangnya,” sahut Andi.
“Siapa orangnya?”
selidik bu Zahara.
“Farhan, bu,”
sahut kedua berbarengan.
“Farhan?” bu
Zahara membelalakkan matanya tak percaya. “Kalian yakin?” tanyanya lagi.
“Kami yakin, bu.
Awalnya kami sudah curiga sewaktu Nadia kehilangan uangnya. Saat itu hanya
Farhan yang ada di kelas mengerjakan tugas dari bu Eka, sedangkan teman yang
lain keluar jajan di kantin. Kejadian kedua sewaktu Mayang kehilangan uangnya.
Waktu itu kami bertiga di kelas, lalu saya dan Andi keluar dan mengajak Farhan
ke kantin tapi dia tidak mau. Kami curiga padanya ketika besok harinya Mayang
mengaku kehilangan uang. Jadi kemarin sewaktu kami belajar di perpustakaan dan
Farhan minta ijin ke kamar kecil, diam-diam kami mengikutinya dari belakang.
Benar kecurigaan kami selama ini karena begitu kami tiba di kelas, kami pergoki
Farhan sedang mengambil uang milik Ayu. Kami punya buktinya, bu,” jelas Yuda
panjang lebar sambil menunjukkan foto Farhan di handphone nya.
Bu Zahara sangat
terkejut mendengar penjelasan Yuda terlebih lagi setelah melihat foto di handphone
miliknya. Jantungnya berdegup kencang antara percaya dan
tidak. Jauh di lubuk hatinya yang paling dalam dia mengharapkan si pelaku
bukanlah berasal dari kelasnya. Namun kenyataan yang ada di depan matanya sudah
jelas bahwa Farhan pelakunya.
“Kalau melihat
foto ini memang jelas bahwa Farhan pelakunya, tapi apakah dua kejadian
sebelumnya juga dia pelakunya?” Tanya bu Zahara lebih ditujukan pada dirinya
sendiri.
“Firasat kami sih
begitu bu, tapi mungkin kalau ibu menyelidikinya langsung, ibu pasti akan dapat
jawabannya,” sahut Yuda berdiplomasi. Bu Zahara kaget mendengar jawaban Yuda.
Siswanya yang satu ini memang terlihat lebih dewasa dari temannya yang lain. Gaya
berbicaranya sopan dan lembut. Caranya menyampaikan pendapat selalu terkesan
hati-hati.
“Baiklah, ibu
akan panggil Farhan besok. Terimaksih atas informasi kalian. Namu ibu harap
berita ini jangan kalian kembangkan. Biarlah hal ini jadi rahasia kita bertiga.
Ibu tidak ingin mempermalukan Farhan,” ucap bu Zahara pada keduanya.
“Tentu, bu. Kami
juga tidak ingin mempermalukan dia karena dia juga teman kami,” sahut Yuda.
“Terimakasih atas
pengertian kalian, sekarang kembalilah ke kelas, biar persoalan ini ibu yang
selesaikan,” ujar bu Zahara menyudahi percakapan. Mereka pun pamit dan kembali
ke kelasnya.
*********
“Farhaaann, cepat
bangun, nak,” terdengar suara bu Minah membangunkan anaknya. Dengan
malas-malasan Farhan bangun dari tempat tidurnya, mencuci muka lalu membantu
ibunya di dapur menggoreng kue untuk di titipkan ke warung-warung. Jam
menunjukkan pukul empat subuh namun mereka sudah berjuang di dapur menyiapkan
berbagai jenis kue basah. Bu Minah seorang janda yang ditinggal mati oleh
suaminya lima tahun yang lalu. Sendirian dia bekerja menghidupi keempat orang
anaknya yang masih kecil-kecil. Untunglah Farhan anak tertuanya sekarang sudah
duduk di kelas tiga SMP, sudah bisa membantunya mencari rezeki. Setelah semua
kue selesai di buat maka Farhan yang mengantarkannya ke warung-warung di
kampung mereka dan kampung tetangga.
Ketika sudah selesai mengantarkan kue ke warung
terakhir, Farhan buru-buru pulang lalu mandi dan berpakaian tanpa sempat
sarapan. Setelah berpamitan pada ibunya, dia langsung berlari tak menyadari
bahwa ada seorang wanita yang memperhatikannya dari seberang jalan.
Wanita tersebut
berjalan menuju rumahnya dan mengetuk pintu.
“Assalamu’alaikum,”
ucapnya di depan pintu yang tertutup. Tak ada jawaban dari dalam. Setelah
kembali mengetuk sambil mengucap salam, sesosok wanita paruh baya muncul di
balik pintu.
“Wa’alaikumsalam,”
sahutnya sambil menatap bingung wanita yang berada di depannya.
“Maaf bu
mengganggu sebentar. Perkenalkan, saya Zahara, wali kelasnya Farhan,” ucap
wanita itu memperkenalkan diri.
“Ooh, wali
kelasnya Farhan. Silahkan masuk, bu. Maaf rumah saya berantakan begini, maklum
saya jualan dan anak-anak masih kecil belum ada yang bisa membantu,” ucapnya
salah tingkah.
“Tidak apa-apa
bu, saya maklum,” ucap bu Zahara sambil duduk di kursi satu-satunya yang ada di
ruangan tersebut.
Rumah ini sangat
sederhana, bathinnya. Hanya beralaskan tanah dan atap rumbia, tipikal rumah
kebanyakan di kampung ini. Tak ada barang berharga di ruang tamu ini, hanya ada
kursi plastik dan lemari usang di sudut ruang, kelihatan penuh sesak dengan
pakaian.
Bu Minah menarik
sebuah kursi lagi dari arah dapur lalu duduk berhadap-hadapn dengan bu Zahara.
“Saya kemari
hanya ingin melihat kehidupan ibu dan Farhan dari dekat, bu,” ucap bu Zahara
menjelaskan maksud kedatangannya.
“Apakah anak saya
ada berbuat suatu kesalahan, bu?” bu Minah bertanya dengan nada cemas.
“Oh, tidak ada,
bu. Ibu tidak perlu khawatir. Saya datang kemari hanya ingin memastikan saja
apa penyebab Farhan sering terlambat tiba di sekolah dan juga sering tertidur
di kelas,” bu Zahara berusaha bersikap setenang mungkin seolah tidak ada
kejadian apapun.
“Oh, maafkan saya
bu. Sayalah yang menyebabkan Farhan sering terlambat datang ke sekolah. Farhan
saya suruh mengantarkan kue-kue dagangan saya ke warung-warung langganan,
setelah itu barulah dia berangkat ke sekolah. Jam empat subuh dia sudah saya
bangunkan untuk membantu saya membuat kue-kue, mungkin itu sebabnya dia sering
tertidur di kelas. Saya juga sebenarnya khawatir Farhan akan terganggu
belajarnya namun apa boleh buat bu, hanya itulah satu-satunya mata pencaharian
saya selama ini bu, sejak ayahnya meninggal beberapa tahun yang lalu,” ucap ibu
Farhan sambil sesekali menyeka air matanya.
Bu Zahara
terhenyak di tempat duduknya. Dadanya sesak mendengar penjelasan ibunda Farhan.
Tak terasa airmata bergulir di pipinya. Ternyata inilah penyebab Farhan sering
terlambat tiba di sekolah selama ini.
Setelah minum teh
dan mengobrol panjang lebar dengan bu Minah, bu Zahara segera berpamitan pulang.
Hatinya terasa sedih melihat nasib Farhan, namun dia tetap harus mengajak
Farhan berbicara dari hati ke hati tentang kasus kehilangan yang terjadi di
kelas mereka selama ini.
*********
Setelah lonceng
usai istirahat berbunyi, bu Zahara segera memanggil Farhan ke ruangannya.
Mereka duduk saling berhadapan dipisahkan dengan meja kecil. Setelah terdiam
beberapa saat, bu Zahara segera memulai percakapan.
“Farhan, kamu
tahu mengapa kamu ibu panggil ke ruangan ibu?” Tanya bu Zahara memulai
percakapan. Farhan hanya tertunduk sambil menggelengkan kepala.
“Ada beberapa hal
yang ingin ibu tanyakan pada kamu. Ibu harap kamu menjawabnya dengan jujur.
Jangan takut, ini hanya antara kita berdua saja. Tidak ada orang lain di
ruangna ini, jadi tidak ada yang mendengar percakapan kita,” lanjut bu Zahara
seraya menatap Farhan lekat-lekat.
Farhan terlihat
semakin menundukkan kepalanya. Hatinya berdebar, ada rasa takut yang tiba-tiba
menyergap bathinnya. Duduknya mulai gelisah, keringat dingin mulai keluar dari
pori-porinya.
Bu Zahara tahu
kegelisahan yang dialami Farhan, maka dia dengan tenang bertanya lagi.
“Kamu tahu Farhan
apa hukumnya kalau kita berbohong?”
tanya bu Zahara.
“Berdosa, bu,”
jawabnya perlahan nyaris tak terdengar.
“Bagus, kalau
kita main judi atau membunuh?” lanjutnya lagi.
“Berdosa juga,
bu,” suaranya makin pelan.
“Nah, kalau kita
mencuri, apa hukumnya?” bu Zahara kembali bertanya dengan suara lembut.
“Berdosa juga,
bu,” kali ini dia menjawab sambil berbisik.
“Baiklah Farhan,
ibu ingin bertanya kepada kamu. Tolong kamu jawab dengan jujur. Seperti jawaban
kamu tadi bahwa kalau kita berbohong maka hukumnya berdosa. Apakah kamu tahu
siapa yang sering mengambil uang di kelas kita?” bu Zahara langsung bertanya ke
inti persoalan.
Farhan terlihat
ragu untuk menjawab. Dia hanya terdiam sambil menundukkan wajah. Berbagai
perasaan berkecamuk dalam dadanya. Antara ingin berkata jujur atau berbohong.
“Farhan, coba
tatap mata ibu, lalu jawab dengan jujur apakah kamu tahu siapa yang mencuri
uang Nadia, Mayang dan Ayu?” bu Zahara kembali bertanya dengan suara lembut
namun tegas.
Perlahan Farhan
mengangkat wajahnya dan menatap wajah bu Zahara. Namun seketika wajahnya
kembali tertunduk. Dia tidak berani menatap mata bu Zahara. Dia takut
kebohongannya akan terbaca.
“Kenapa kamu
takut menatap mata ibu, Farhan?” tanya bu Zahara.
“Sekarang, tatap
mata ibu dan jawab pertanyaan ibu dengan jujur!” perintah bu Zahara tak
terbantahkan.
Perlahan-lahan
Farhan mengangkat wajahnya lalu menatap wajah bu Zahara. Air mata tampak mengambang
di kedua matanya. Dadanya turun naik menahan tangis yang hampir pecah.
“Ma…maafkan
sa…saya bu. Saya mengaku salah. Sayalah yang sudah mengambil uang teman-teman
di kelas, uang Nadia, Mayang dan Ayu. Saya minta maaf bu. Saya salah,” ucap
Farhan dengan suara bergetar bercampur tangis.
Bu Zahara
menghela nafas lega. Akhirnya keluar juga pengakuan itu dari mulut Farhan. Dia
tidak menyangka Farhan begitu mudah mengakui perbuatannya. Padahal dia tidak
membentak atau memarahinya, cukup dengan mengajukan beberapa pertanyaan yang
harus dijawabnya dengan jujur, namun karena memang dasarnya Farhan anak yang
baik maka dia dengan cepat mengakui semua perbuatannya.
“Ibu hargai
kejujuran kamu, Farhan. Ibu bangga karena kamu mau mengakui kesalahan kamu,”
ucap bu Zahara sambil menepuk bahunya.
“Seperti yang ibu
janjikan tadi, percakapan ini hanya antara kita berdua. Kamu jangan khawatir,
ibu tidak akan menceritakan hal ini pada siapapun, asalkan kamu mau berjanji
pada ibu,” lanjut bu Zahara.
Farhan mengangkat
wajahnya sambil menghapus air matanya.
“Ibu tidak akan
memberitahukan pada teman-teman bahwa saya yang melakukannya?” tanyanya seolah
tak percaya.
Bu Zahara
tersenyum sambil menganggukkan kepalanya.
“Benar Farhan,
ibu berjanji akan menyimpan rahasia ini rapat-rapat. Ini akan menjadi rahasia
kita berdua. Asalkan kamu berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatan kamu
ini,” bu Zahara berkata dengan tegas.
Farhan hampir tak
percaya dengan apa yang didengarnya. Awalnya dia berfikir bahwa bu Zahara akan
menyuruhnya mengakui perbuatannnya di hadapan teman-temannya. Dia menyangka bu
Zahara akan memepermalukannya agar dia jera dan tidak akan mengulangi perbuatan
mencuri lagi. Namun ternyata dugaannya salah besar. Bu Zahara ternyata tidak
berniat seperti itu. Bu Zahara tidak berniat mempermalukannya di hadapan
teman-temannya. Hatinya merasa lega.
“Saya berjanji
tidak akan mengulangi perbuatan saya lagi bu,” Farhan berkata dengan
sungguh-sungguh.
“Benar kamu
berjanji pada ibu tidak akan mengulangi perbuatan itu lagi?” bu Zahara
mengulangi pertanyaannya untuk memastikan ucapan Farhan barusan.
“Betul, bu. Saya
berjanji dengan sungguh-sungguh,” ucapnya sambil mengangguk-anggukkan kepalanya
untuk meyakinkan bu Zahara.
Bu Zahara
tersenyum sambil mengelus kepala Farhan.
“Ibu percaya
dengan janji kamu. Ibu yakin kamu akan menepatinya. Kamu juga harus berjanji
pada diri kamu sendiri bahwa kamu akan menjadi Farhan yang lebih baik. Farhan
yang jujur dan tidak akan mengulangi kesalahan yang sama,” pungkas bu Zahara.
“Sekarang kembalilah
ke kelasmu. Bersikaplah seolah tak pernah terjadi apa-apa. Ibu ingin kamu
kembali ceria seperti biasa, jangan sampai hal ini mempengaruhi semangat
belajarmu. Ingat, ujian sudah dekat, oke?” ucap bu Zahara memberikannya
semangat.
Farhan
menganggukkan kepalanya. Dia segera bangkit dari tempat duduknya. Hatinya
merasa lega sekarang, dadanya terasa ringan. Disalami dan diciumnya tangan wali
kelasnya yang baik hati dan bijaksana itu sebelum meninggalkan ruangan. Dengan
langkah pasti dia menuju ruang kelas. Senyuman manis tersungging di bibirnya.
Selesai
No comments:
Post a Comment