Cerpen : Sahabat Sejati - SMP Negeri 12 Lhokseumawe

Breaking

Sunday, November 1, 2020

Cerpen : Sahabat Sejati



Sahabat Sejati 

Putri memasuki ruang kelas 8C sambil tersenyum riang. Hari ini sahabatnya berulang tahun dan dia sudah mempersiapkan sebuah kejutan kecil untuk sahabatnya itu. Teman-temannya yang lain sudah diajaknya bekerja sama untuk membuat kejutan ulang tahun buat Marlinda. Tak sabar rasa hatinya menunggu kedatangan Marlinda.

Pukul 07.15 Marlinda tiba di gerbang sekolah. Rendi yang bertugas sebagai pengintai langsung berlari memasuki ruang kelas.

“Teman-temaaan,...Marlinda sudah datang,” teriaknya begitu memasuki kelas. Serentak teman-temannya yang lain bersiap-siap melakukan tugasnya masing-masing.

Begitu Marlinda memasuki ruang kelas, teman-temannya bersorak menyambutnya.

“Selamat ulang tahuuunnn,...” teriak teman-temannya serentak.

Kertas warna-warni yang sudah dipotong kecil-kecil nampak bertebaran di udara. Raka yang bertugas menebarkannya. Kertas-kertas tersebut sebagian memenuhi kepala Marlinda dan sebagian yang lain menyebar di kepala teman-temannya.

Putri memegang kue ulang tahun di tangannya, diatas kue tersebut tertancap dua buah lilin bertuliskan angka 15, tetapi tidak dinyalakan karena guru agama mereka telah berpesan agar tidak meniup lilin dalam ucara ulang tahun karena hal tersebut dilarang dalam agama Islam.

Marlinda menatap semua teman-temannya dengan mata berkaca-kaca. Dia tidak menyangka mendapat kejutan manis di pagi ini.

“Satu, dua, tigaa,” Yanti memberi komando.

“Selamat ulang tahun kami ucapkan

Selamat panjang umur kita kan doakan

Selamat sejahtera sehat sentosa

Selamat panjang umur dan bahagia.

Panjang umurnya panjang umurnya

Panjang umurnya serta mulia serta mulia

Serta mulia ……

Panjang umurnya panjang umurnya

Panjang umurnya serta mulia

Serta mulia...serta mulia

Potong kuenya potong kuenya

Potong kuenya sekarang juga

Sekarang juga...sekarang jugaa.”

Teman-temannya bernyanyi dengan penuh semangat sambil mengelilinginya. Putri lalu meletakkan kue ulang tahun tersebut diatas meja dan menyerahkan pisau kecil kepada Marlinda. Marlinda memotong kue tersebut lantas menyuapkannya ke mulut Putri.

“Selamat ulang tahun ya Linda,” ucap Putri.

“Terimakasih ya Put, pasti ini semua rencana kamu,” sahutnya. Putri hanya tersenyum lebar sambil mengunyah kuenya. Bergantian Marlinda menyuapi temannya satu persatu hingga kue tersebut ludes masuk ke perut mereka bertepatan dengan munculnya bu Zainah di depan pintu kelas.

“Assalamu’alaikum anak-anak,” bu Zainah masuk sambil memberi salam.

“Wa’alaikumsalam,” serentak mereka menjawab salam.

“Wah ada acara ulang tahun kelihatannya nih ya,” ucap bu Zainah sambil memperhatikan keadaan kelas yang berantakan.

“Iya bu, Marlinda berulang tahun hari ini,” sahut Putri sambil melirik ke arah Marlinda. Yang dilirik hanya tersenyum sambil mengangguk.

“Ide siapa ini?” tanya bu Zainah lagi.

“Putri, bu,” sahut Raka spontan.

“Bagus kalau acaranya seperti ini, tidak menyengsarakan kawan yang sedang berulang tahun. Kalian jangan meniru perbuatan orang-orang yang merayakan ulang tahun temannya dengan memecahkan telur di kepala lalu disiram dengan tepung. Perbuatan tersebut tergolong perbuatan sia-sia dan menyusahkan orang yang sedang berulang tahun,” ujar bu Zainah menasehati siswanya.

“Ya buu … ,” sahut siswa kelas 8C serentak.

“Nah, sekarang tinggal kita bersihkan saja kelasnya supaya belajarnya jadi enak. Ayo ambil sapunya kita bersihkan lantainya,” ajak bu Zainah.

Seluruh siswa bekerja membersihkan kelas mereka dari sampah kertas berwarna yang bertebaran di lanatai kelas. Bu Zainah memperhatikan siswanya bekerja sambil tersenyum. Dalam hati dia mengakui bahwa kelas 8C ini memang kelas yang kompak.

Bu Zainah lantas memulai pelajaran dengan mengajak siswa berdoa lalu mengabsen siswa satu persatu.

“Baiklah anak-anak sekalian, hari ini kita akan mempelajari tentang cara membuat perahu mainan dengan sumber arus listrik DC. Ibu harap kalian fokus memperhatikan apa yang akan ibu jelaskan berikut ini,” ucap bu Zainah sambil menghidupkan in-focus.

Di layar in-focus terlihat power point yang berisikan penjelasan tentang pembuatan perahu mainan dengan sumber arus listrik DC.

“Sebelum membuat perahu mainan ini, kita harus membuat perencanaan terlebih dahulu,” jelas bu Zainah lagi.

“Perahu mainan otomatis akan bergerak apabila tombol On ditekan, dan sebaliknya perahu mainan akan berhenti bergerak pada saat tombol Off ditekan,” lanjutnya lagi.

“Pembuatan perahu mainan ini berdasarkan bahan dan alat yang tersedia di lingkungan kalian, dibuat dengan penuh tanggung jawab dengan memperhatikan prinsip kerja,” jelas bu Zainah menegaskan.

“Ada yang mau bertanya sebelum ibu lanjutkan?” tanya bu Zainah pada seluruh kelas.

“Saya bu,” ucap Marlinda sambil mengacungkan tangan.

“Ya, silahkan Marlinda,” ujar bu Zainah.

“Apakah nanti perahu mainan ini bisa benar-benar berjalan di atas air, bu?” tanyanya.

“Insyaallah tentu bisa, kalau kita mengerjakannya dengan benar mengikuti langkah-langkah kerja yang juga benar,” ucap bu Zainah bersemangat.

Beliau paling senang bila ada siswa yang bertanya, karena kelas akan menjadi hidup bila siswanya aktif bertanya. Selain itu dengan bertanya, pelajaran yang berlangsung dianggap menarik karena siswa ingin tahu tentang materi yang sedang dijelaskan saat itu.

“Siapa lagi yang ingin bertanya?” tanya bu Zainah kembali.

“Saya bu,” sahut Putri tak mau kalah.

“Ya, silahkan Putri,” ucap bu Zainah.

“Apakah nanti kita bekerja secara individu atau kelompok, bu?” tanyanya.

“Ya, pertanyaan yang bagus. Tentu saja kita nanti akan bekerja secara berkelompok, karena kita akan membutuhkan bahan-bahan dan peralatan yang lumayan banyak sehingga bisa saling membantu,” jelas bu Zainah.

“Hari ini kita belum bekerja secara berkelompok, hari ini ibu hanya akan menjelaskan tentang peralatan, bahan dan langkah-langkah kerjanya saja dulu,” ucap bu Zainah.

Tiba-tiba pintu kelas diketuk dari luar diiringi ucapan salam.

“Assalamu’alaikum,” ucap bu Yus di depan pintu kelas.

“Wa’alaikumsalam,” sahut bu Zainah dan beberapa siswa.

“Maaf bu Zainah mengganggu sebentar. Ini ada siswa baru pindahan dari Jakarta,” ucap bu Yus sambil memegang tangan seorang siswa laki-laki yang tampak malu-malu berdiri disebelahnya.

“Oh ya bu, silahkan,” ucap bu Zainah terpaksa menghentikan penjelasannya tentang perahu mainan.

Seluruh siswa kelas 8C memperhatikan siswa baru tersebut. Siswa tersebut terlihat rikuh dipandangi oleh seisi kelas.

“Sst,…Putri, anak  baru itu ganteng ya?” Marlinda berbisik ditelinganya.

“Hmm,… lumayaaann,” Putri menyahut dengan cueknya tapi matanya tidak lepas dari siswa baru itu.

“Bu, suruh dia memperkenalkan diri ya bu,” tiba-tiba Marlinda bersuara dengan lantang.

“Ya, nanti kita suruh dia memperkenalkan dirinya. Sekarang kita suruh dia duduk dulu. Kamu boleh duduk di sebelah Andri ya nak,” ucap bu Yus sambil menunjuk ke arah kursi kosong yang ada di sebelah Andri. Setelah berbicara sebentar dengan bu Zainah beliau langsung keluar.

Perhatian seluruh siswa kelas 8C sekarang hanya tertuju pada siswa baru tersebut. Semua saling berbisik antara satu dengan yang lain sehingga kelas jadi riuh.

“Hmm, baiklah anak-anak. Kelihatannya kalian sudah tidak fokus ke materi lagi. Sekarang kita minta dulu teman kita yang baru ini untuk memperkenalkan dirinya di depan kelas,” ucap bu Zainah menenangkan kelas.

“Horee,…” teriak Marlinda sambil bertepuk tangan.

“Hush …,” ucap Putri sambil menyenggol tangannya. Marlinda tidak memperdulikan ucapan Putri, malah dia berdiri dengan penuh semangat sambil menyuruh siswa baru tersebut maju ke depan kelas memperkenalkan diri.

“Ayoo,…maju. Kamu harus memperkenalkan diri di depan kita semua,” ucap Marlinda bersemangat. Siswa baru tersebut lantas berdiri dan maju ke depan kelas. Dia berjalan dengan penuh rasa percaya diri.

Sampai di depan kelas, dia berdiri menatap seisi kelas sambil tersenyum, sehingga kelihatan kedua lesung pipinya.

“Woooww, Putri lihat senyumnyaa, maniiisss sekaliii… ,” Marlinda kembali berbisik.

“Ah, kamu ini norak, biasa aja keles,” timpal Putri sedikit kesal. Marlinda mencibirkan bibirnya ke arah Putri, lantas kembali menatap siswa baru tersebut.

“Hallo teman-teman semua, nama saya Deni Febrian, saya pindahan dari SMP Negeri 42 Jakarta Timur,” ucapnya pada seisi kelas.

“Alamatnya, tempat tanggal lahir, hobbi, makanan favorit, no handphone,” teriak Marlinda dari tempat duduknya.

“Hush kamu ini Marlinda, kalau nanya satu persatu dong, dia kan jadi bingung jawabnya,” ujar bu Zainah sambil menenangkan kelas yang tiba-tiba jadi berisik.

Marlinda hanya tersenyum tak menanggapi ucapan gurunya, lalu kembali sibuk menginterogasi siswa baru tersebut diikuti beberapa siswa yang lain. Sejenak bu Zainah membiarkan hal tersebut berlangsung. Biarlah anak-anak sesekali bersenang-senang, ucapnya dalam hati.

Bu Zainah melirik arloji di pergelangan tangannya, sudah pukul 08.45 WIB. Waktunya sudah hampir habis, giliran mata pelajaran lain yang masuk.

“Baiklah ana-anak ibu semua, waktu kita sudah hampir habis. Minggu depan akan ibu lanjutkan lagi penjelasan tentang pembuatan perahu mainan dengan sumber arus listrik DC. Tugas kalian adalah membaca buku di perpustakaan tentang cara pembuatan perahu mainan tersebut atau men-download dari internet. Sebelum ibu akhiri mari kita mengucapkan hamdalah bersama-sama,” ucap bu Zainah mengakhiri pelajaran.

 

*******

Malam ini Marlinda terlihat gelisah, berjalan mondar-mandir di kamarnya. Buku-buku pelajaran tampak berserakan di atas meja, belum satupun yang dia sentuh. Hatinya masih diliputi tanda tanya tentang kejadian pulang sekolah siang tadi. Sejak kehadiran siswa baru itu di kelas mereka, hubungannya dengan Putri terlihat agak sedikit renggang. Putri terlihat sering mengobrol dengan Deni, tanpa mengajaknya ikut serta. Siang ini pun sewaktu bel pulang berbunyi, Putri tiba-tiba sudah menghilang entah kemana. Biasanya mereka selalu pulang berdua karena memang rumah mereka searah.

          Tiba-tiba layar handphone nya menyala diiringi nada pemberitahuan. Malas-malasan dia raih benda tersebut. Matanya tiba-tiba melotot melihat status terbaru Putri di media sosial. Tampak Putri dan Deni sedang menikmati es kelapa muda di warung dekat sekolah mereka sambil tertawa ceria. Hatinya terasa panas, dibantingnya benda tak bersalah itu ke atas tempat tidur.

          “Hmm,…pantas tadi Putri tidak menungguku pulang sekolah, ternyata dia pergi minum es kelapa muda dengan si Deni. Dasar sok lugu, sok cuek, padahal demen,” gerutunya dalam hati.

          Diraihnya handphone nya lalu diketiknya pesan singkat untuk Putri.

          “Dasar muna lu Put,” tulisnya.

          “Maksud lo ?” balas Putri beberapa detik kemudian.

          “Gak usah belagu deh lo, ga usah pura-pura tidak tahu,” balas Marlinda lagi.

          Suer, ada apa?” tanya Putri.

          “Mentang-mentang lo dah jadian sama Deni, gua lo tinggalin ya. Teman macam apa kamu,” tulis Marlinda.

          “Ups,…sori, ini tentang status gue ya?” tulis Putri.

          “Pura-pura nanya lagi,” balas Marlinda.

          Tidak ada balasan dari Putri.

          “Put…,” ketik Marlinda.

          Tetap tak ada jawaban.

          “Huh…,” dengusnya kesal. Ditariknya selimut dan mencoba untuk tidur meski dia tahu dia tidak akan bisa tidur malam ini.

          Keesokan paginya dia tidak bertegur sapa dengan Putri. Biasanya dia menunggu Putri di depan rumahnya untuk bersama-sama berangkat ke sekolah, tapi tadi pagi dia langsung berangkat tanpa menunggu Putri lewat di depan rumahnya.

          “Linda…,” Putri menegurnya.

Marlinda memalingkan wajahnya. Hatinya masih kesal dengan peristiwa semalam. Diambilnya tasnya lalu pindah duduk di sebelah Ayu. Kebetulan Rini tidak hadir hari ini.

“Kenapa Lin, kok pindah tempat duduk?” tanya Ayu.

“Gak ada apa-apa, aku lagi kesel sama si Putri,” sahut Marlinda sambil membuka tas nya.

“Jangan berantem dong, kalian kan udah sahabatan dari kelas VII. Memangnya ada masalah apa sih,” tanya Ayu ingin tahu.

“Tidak ada masalah apa-apa kok. Cuma lagi kesel aja,” sahutnya lagi.

Ayu masih ingin bertanya tapi tiba-tiba bu Zainah sudah berdiri di ambang pintu kelas mereka.

“Assalamu’alaikum,” ucapnya memberi salam.

“Wa’alaikumsalaamm,” jawab siswa kelas 8C serentak.

Bu Zainah segera membuka pelajaran. Setelah berdoa dan mengabsen siswa, beliau memberikan motivasi dan apersepsi dilanjutkan dengan memberitahukan tujuan pembelajaran pada hari itu.

“Nah, anak-anak ibu semua, minggu lalu kita sudah membahas sedikit tentang materi kita yaitu pembuatan perahu mainan dengan bantuan arus listrik DC. Hari ini kita akan lanjutkan pembahasan pembuatan mainan tersebut,” ujarnya sambil menyalakan in-focus.

“Nah, coba kalian perhatikan tayangan berikut ini. Di layar in-focus terlihat bahan-bahan dan peralatan yang akan kita gunakan untuk membuat perahu mainan ini,” lanjutnya lagi.

Bu Zainah melayangkan pandangannya ke seluruh kelas untuk memastikan bahwa seluruh siswa memperhatikan penjelasannya. Selintas diperhatikannya Marlinda tidak duduk sebangku dengan Putri, namun tidak begitu dipedulikannya. Perhatiannya kembali tertuju pada laptop dan layar in-focus.

“Coba kalian lihat di layar, peralatan yang kita butuhkan nanti adalah gunting seng, meteran, cutter, palu, paku, pulpen, mistar atau penggaris,” ucap bu Zainah sambil menunjukkan gambar satu persatu.

“Lalu bahan-bahan yang kita butuhkan nanti antara lain adalah tempat baterai, baterai 2 buah, motor lisrik DC, tutup botol, kabel, gabus bekas ukuran 10cm x 15cm, saklar, dan tusukan permen,” lanjutnya lagi sambil menunjuk ke arah layar in-focus.

“Marlinda, apa yang sedang kamu pikirkan, tolong focus ke pelajaran yang sedang kita bahas,” tegur bu Zainah membuat lamunan Marlinda terputus. Dia tersentak mendengar teguran tersebut, lalu berusaha untuk kembali konsentrasi meskipun dirinya masih memikirkan status Putri semalam.

“Coba kalian perhatikan langkah-langkah untuk membuat perahu mainan dengan sumber arus listrik DC di layar in-fokus,” ujar bu Zainah kembali.

“Langkah pertama adalah siapkan gabus bekas kemudian gambar sketsa perahu dengan menggunakan pulpen lalu siapkan cutter untuk membentuk gabus menjadi sebuah perahu mainan. Ikuti gambar sketsa yang sudah dibuat,” jelas bu Zainah melanjutkan.

“Sambungkan kabel baterai ke saklar dan kabel baterai satu ke motor listrik DC. Selanjutnya siapkan kabel untuk menyambungkan saklar dengan motor listrik DC,” lanjutnya.

“Siapkan tutup botol bekas dan ratakan dengan menggunakan palu. Kemudian lubangi tengah tutup botol dengan paku, lalu bentuklah tutup botol seperti baling-baling dengan menggunakan gunting seng,” lanjutnya lagi sambil mengedarkan pandangan ke seisi kelas.

“Selanjutnya masukkan tusuk permen ke dalam lubang baling-baling dan pasanglah rangkaian di tempat yang telah disiapkan masing-masing pada gabus.”

“Setelah itu pasang tusuk permen ke motor listrik DC, kemudian pasang baterai pada tempat baterai, perhatikan kutub positif dan negatif baterai.”

“Nah, perahu mainan sudah selesai. Untuk tahap pengujian siapkan baskom yang berisi air kemudian masukkan perahu mainan ke dalam baskom tersebut. Tekan tombol on untuk menyalakan perahu mainan dan tekan off untuk memetikan perahu mainan,” bu Zainah mengakhiri penjelasannya sambil menunjukkan perahu mainan yang sudah jadi.

Semua perhatian siswa tertuju pada perahu mainan tersebut kecuali Marlinda dan Putri. Keduanya tampak termenung sambil memainkan pulpen di tangan masing-masing.

“Marlinda! Putri! Apa yang sedang kalian lamunkan. Ibu perhatikan dari tadi kalian berdua tidak memperhatikan materi pelajaran yang sedang ibu jelaskan,” tegur bu Zainah dengan nada yang sedikit tinggi.

Marlinda dan Putri gelagapan lalu saling menoleh satu sama lain namun buru-buru memalingkan muka masing-masing.

Bu Zainah langsung paham ada sesuatu yang tidak beres yang terjadi antara keduanya.

“Baiklah anak-anak ibu semuanya.  Setelah semuanya paham dengan penjelasan ibu tadi, maka tiba waktunya sekarang kalian duduk berkelompok untuk mendiskusikan materi tadi sekaligus berbagi tugas agar proyek ini bisa selsai tepat pada waktunya,” jelas bu Zainah.

“Di tangan ibu ada keranjang kecil berisi kertas warna-warni. Setiap orang akan mengambil satu kertas dengan mata tertutup,” ucap bu Zainah sambil berjalan ke arah Mifta yang duduknya paling dekat pintu kelas.

“Ayo Mifta, kamu ambil kertas ini satu lembar tapi dengan mata tertutup,” Bu Zainah mengangsurkan keranjang mungil berwarna merah jambu tersebut ke hadapan Mifta.

Mifta mengambil selembar kertas dengan mata terpejam, yang terambil adalah kertas berwarna biru.

Ketika tiba giliran Putri, Marlinda melirik sahabatnya itu mengambil kertas berwarna ungu. Dalam hatinya menebak, jangan-jangan yang memiliki warna kertas yang sama akan duduk satu kelompok.

Akhirnya tiba gilirannya. Dengan hati berdegup kencang, buru-buru diambilnya salah satu kertas yang barusan diintipnya berwarna hijau.

“Halloo Marlinda, jangan diambil dulu. Ibu belum mengaduknya,” sentak bu Zainah sambil mengambil kembali kertas berwarna hijau tersebut dari tangannya. Dalam hatinya menggerutu tak senang namun dia terpaksa menyerahkan kertas  itu.

“Nah sekarang kamu tutup mata dulu baru memilih kertasnya,” lanjut bu Zainah.

Marlinda dengan tangan agak gemetar mengambil selembar kertas. Setelah mengambi selembar, masih dengan mata terpejam, diletakkannya kembali lalu mengambil kertas yang lain. Hatinya penuh harap jangan sampai kertas berwarna ungu yang terpilih. Ketika dia membuka mata, jantungnya seperti berpindah dari tempatnya. Ditangannya terselip selembar kertas kecil berwarna ungu. Dengan wajah cemberut di tatapnya kertas tersebut. Huh! Mulai hari ini aku benci warna ungu!” sungutnya dalam hati.

“Nah anak-anak ibu semua, sekarang kalian duduk berkelompok menurut warna kertas masing-masing ya. Yang memiliki kertas warna merah duduk satu kelompok dengan yang memiliki warna merah juga, begitu seterusnya,” ujar bu Zainah menjelaskan sistem pembagian kelompok.

“Coba dengar semuanya! Tidak ada yang bergerak sebelum ibu perintahkan! Kelompok kertas berwarna biru duduk di pojok depan sebelah kanan. Kelompok kuning duduk dt tengah bagian depan, kelompok hijau di sudut kiri bagian depan. Selanjutnya kelompok merah jambu di sudut kiri bagian belakang, kelompok ungu di tengah belakang dan kelompok  merah di pojok kanan belakang,” jelas bu Zainah sambil menunjuk dengan tangannya posisi masing-masing kelompok.

“Sekarang boleh bergerak membentuk kelompok masing-masing. Kursinya diangkat, tidak boleh berisik, ibu beri waktu 5 menit,” ucap bu Zainah menegaskan.

Semua siswa mulai bergerak membentuk kelompok. “Huft, apa kubilang, pasti warna yang sama akan menjadi teman satu kelompok,” dengus Marlinda kesal dalam hatinya. Kok bisa pula aku satu kelompok dengannya, sebel, gerutunya lagi dalam hati. Malas-malasan diseretnya kursinya kearah kelompok ungu. Dengan wajah cemberut dia duduk diantara teman-temannya.

Putri meliriknya dengan sudut matanya. Dalam hatinya juga menggerutu hal yang sama seperti Marlinda. ”Ihh, kok bisa seh aku satu kelompok dengan dia,” dengusnya dalam hati.

“Baiklah anak-anak ibu semua, sekarang kalian berdiskusi dalam kelompok. Diskusikan proyek yang akan kalian garap nanti. Tentukan di rumah siapa nanti kalian akan mengerjakan proyek ini, dan jangan lupa diskusikan juga peralatan dan bahan-bahan yang harus dibeli atau dicari,” lanjut bu Zainah lagi.

Kelas mulai terdengar bising karena setiap kelompok mulai berdiskusi. Hanya kelompok ungu yang terlihat sepi. Kelompok yang terdiri dari 4 orang siswa itu hanya duduk berpandangan satu sama lain. Intan dan Ferdi saling berpandangan sambil melihat kearah Marlinda dan Putri. Ferdi bertanya dengan isyarat mata. Intan mengangkat bahunya sambil menggelengkan kepala.

Akhirnya setelah beberapa menit berlalu, Ferdi mengambil inisiatif berbicara.

“Ehmm,… bagaimana kalau kita besok sore kumpul di rumah Intan? Besok saja kita bicarakan tentang bahan-bahan dan peralatan yang harus kita siapkan,” ucapnya sambil memandangi teman-temannya. Marlinda menatapnya tanpa ekspresi, begitu juga dengan Putri, terlihat asyik mengetuk-ngetuk meja dengan pulpennya, tak memperdulikan ucapan Ferdi.

Dengan wajah kesal Ferdi mengalihkan pandangannya ke arah Intan seolah meminta bantuan.

“Gimana Lin, Putri, besok kita kumpul di rumahku ya?” ucap Intan sambil menyentuh siku Marlinda. Marlinda menghela nafas lalu mengangguk sambil lalu.

“Gimana Put? Kamu bersedia kan?” tanya Intan lagi. Sebenarnya dia sudah kesal dengan kedua temannya ini, tapi demi nilai kelompok terpaksa disabarkannya hatinya.

‘Hmm,…liat besok deh,” jawab Putri lirih. Hatinya tak kalah kesalnya terhadap Marlinda. Salah dia apa coba, cuma minum es kelapa muda dengan Deni lalu pasang status di fb, kok Marlinda jadi sewot, gerutunya dalam hati. Memangnya cuma dia aja yang bisa marah, aku juga bisa, dengusnya lagi dalam hati.

“Baiklah anak-anak, bel istirahat sudah berbunyi. Jangan lupa proyek ini harus selesai tepat waktu. Ibu beri waktu dua minggu untuk menyelesaikannya,” ujar bu Zainah menutup pelajaran.

 

*********

          Dua minggu sudah berlalu sejak bu Zainah memberikan tugas proyek membuat perahu mainan. Hari ini tugas tersebut harus dikumpulkan. Setiap kelompok sibuk dengan perahu masing-masing. Ada yang mengutak-atik perahu yang belum bisa berjalan, ada yang bersorak kegirangan karena perahunya melaju dengan kencang di atas baskom beisi air.

          Bu Zainah masuk ke kelas 8C dengan penuh semangat. Beberapa hari yang lalu beberapa kelompok mendatanginya untuk membicarakan tentang kendala yang mereka hadapi. Dari situ bu Zainah bisa tahu bahwa siswanya sangat antusias dengan proyek ini. Semua ingin mendapatkan hasil yang terbaik.

          “Assalamualaikuumm,” bu Zainah menyapa siswanya dengan ceria.

          “Waalaikumsalaamm,” sahut mereka serentak.

          “Sebelum kita memulai pelajaran sebaiknya kita awali dengan berdoa dulu. Ayo ketua kelas tolong pimpin doanya,” ujar bu Zainah. Zaki sang ketua kelas segera memimpin doa.

          “Baiklah anak-anak ibu semua, supaya lebih bersemangat mari kita senam pinguin terlebih dahulu, ayo bentuk formasi,” ucap bu Zainah sambil menghidupkan layar in-focus dan pengeras suara.

          Siswa kelas 8C berteriak kegirangan sambil berdiri mengambil posisi masing-masing. Mereka sudah terbiasa dengan senam ini maka sudah tahu cara berdiri dan mengambil posisi. Memang pelajaran bila diawali dengan senam, lagu atau games maka bisa dipastikan kegiatan pembelajaran pada hari itu akan lebih bersemangat.

          Bu Zainah memimpin senam penguin di depan kelas dengan penuh semangat diikuti oleh para siswa. Namun tidak demikian halnya dengan Ferdi, Intan, Putri dan Marlinda. Mereka berempat terlihat lesu dan tidak bergairah. Mereka mengikuti gerakan senam dengan setengah hati sepertinya ada masalah berat yang sedang menghampiri.

          Beberapa menit kemudian kegiatan senam penguin pun usai. Para siswa segera kembali ke tempat duduk masing-masing. Bu Zainah lantas memeriksa kehadiran siswa satu persatu.

          “Alhamdulillah hari ini anak-anak ibu hadir semua. Kita patut bersyukur kepada Allah yang sudah memberikan kita kesehatan sehingga kita bisa ke sekolah pada hari ini,” ujar bu Zainah mengawali pelajaran

          “Nah, seperti janji kita dua minggu yang lalu, maka hari ini tibalah saatnya kalian menyerahkan tugas proyek kalian sekaligus mempresentasikan cara pembuatannya di depan kelas,” lanjut bu Zainah.

          “Sekarang tiap kelompok duduk di posisi masing-masing seperti yang sudah ibu atur dua minggu yang lalu,” bu Zainah memberi instruksi.

          Semua kelompok mengambil tempat masing-masing termasuk kelompok ungu yang terdiri dari Marlinda, Putri, Intan dan Ferdi. Mereka berjalan gontai menuju kelompoknya. Intan terlihat pucat demikian juga dengan Ferdi. Sebaliknya Marlinda dan Putri terlihat agak santai meskipun terlihat ada rasa gundah di wajah keduanya.

          Putri melirik kearah kelompok hijau dimana Deni terlihat asyik mengutak-atik perahu mainannya bersama anggota kelompoknya. Dengan perasaan kesal dialihkannya tatapannya ke arah Marlinda yang kebetulan sedang meliriknya. Sontak keduanya saling membuang muka. Intan dan Ferdi menggeleng-gelengkan kepala melihat ulah keduanya.

          “Nah anak-anak ibu semuanya, hari ini kita akan mempresentasikan hasil kerja kita masing-masing di depan kelas. Setiap kelompok yang ibu panggil harap maju ke depan semuanya dan membawa perahu mainannya,” ujar bu Zainah dengan suara keras.

          “Kelompok biru harap maju ke depan,” panggil bu Zainah dengan suara nyaring.

          Kelompok biru maju dan memaparkan hasil kerja kelompok mereka. Perahu mainan yang mereka hasilkan terlihat sangat menarik dengan perpaduan warna biru dan putih meskipun ketika dinyalakan lajunya tidak begitu sempurna namun tetap mendapat tepukan yang cukup meriah dari seisi kelas.

          Tiba giliran kelompok ungu di panggil ke depan, Marlinda dan Putri terlihat saling berpandangan. Ferdi dan Intan terlihat semakin pucat. Tidak ada yang bergerak dari kursi masing-masing.

          “Halloooo,… kelompok ungu, silakan maju ke depan,” bu Zainah kembali memanggil kelompok mereka. Dengan wajah kecut Ferdi mengacungkan tangan.

          “Maaf bu, proyek kami belum selesai,” ucapnya dengan suara nyaris tak terdengar.

          “Apa?” bu Zainah bertanya dengan nada tidak yakin.

          “Benar bu, proyek kami belum selesai,” lanjut Intan sambil tertunduk.

          Bu Zainah menghela nafas sambil memandangi mereka bergantian. Dalam hati dia bertanya-tanya apa gerangan yang terjadi. Belum pernah Marlinda atau Putri tidak selesai mengerjakan tugas baik tugas individu maupun kelompok. Pasti ada sesuatu yang tidak beres, bathinnya.

          “Dengan sangat terpaksa ibu harus mengatakan bahwa kelompok kalian dinyatakan gagal dalam proyek kali ini. Itu artinya kalian tidak mendapatkan nilai alias nol. Kemudian nilai sikap tanggung jawab dan kerjasama pun tidak ada nilai,” ujar bu Zainah sambil memandangi keempat siswanya tersebut.

          Marlinda, Putri, Intan dan Ferdi hanya bisa tertunduk mendengar ucapan bu Zainah. Mereka menjadi pusat perhatian kelompok lain, termasuk kelompok Deni. Rasa malu tiba-tiba menyelimuti hati Marlinda, namun perasaan itu ditepisnya manakala dia ingat permusuhannya dengan Putri. Huft,…ini semua gara-gara si Putri, gerutunya dalam hati.

          “Dengar, ibu beri kalian waktu selama seminggu untuk menyelesaikan proyek ini. Bila kalian gagal lagi, maka dengan sangat terpaksa ibu akan mengosongkan nilai kalian untuk kompetensi ini dan nilai akhir tetap akan ibu bagi dengan empat kompetensi dan hal itu sangat mempengaruhi nilai akhir kalian,” jelas bu Zainah.

          “Bagaimana, kalian mengerti apa yang ibu maksud?” tanya bu Zainah memastikan.

          Mereka serentak menganggukkan kepala. Ferdi dan Intan melirik ke arah Putri dan Marlinda. Mereka tidak yakin waktu seminggu yang diberikan bu Zainah bisa mereka gunakan untuk menyelesaikan proyek mereka.

          “Baiklah anak-anak, kita lanjutkan presentasi berikutnya dengan kelompok merah,” ujar bu Zainah sambil memberi isyarat ke arah kelompok merah.

********

          Keesokan harinya Putri tiba paling awal di sekolah. Setelah meletakkan tas dia langsung ke kantin belakang. Perutnya tak sabar ingin diisi karena di rumah tadi dia tidak sempat sarapan. Kakaknya yang tadi pagi mengantarnya  ke sekolah harus buru-buru ke kampus sehingga terpaksa dia pun harus buru-buru pula kalau tidak ingin berjalan kaki sendirian sampai ke sekolah.

          Begitu tiba di pintu kantin, matanya langsung terbelalak melihat dua sejoli sedang asyik menikmati sarapan. Duduknya memang tidak begitu dekat namun dari bahasa tubuhnya kelihatan kalau mereka sangat akrab. Mereka tidak menyadari kehadirannya karena sedang asyik mengamati buku yang sedang di pegang Deni. Buru-buru Putri memutar langkah kembali ke kelas. Hatinya terasa panas dan rasanya ingin menangis. Apakah mereka pacaran? Ataukah hanya sekedar berteman? Sejak kapan mereka jadi demikian akrab? Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam benaknya.

          Pelajaran pertama diikutinya dengan setengah hati, padahal dia sangat menyukai pelajaran IPA. Suara bu Eka yang sedang menjelaskan pelajaran pun terdengar seperti berlalu begitu saja karena fikirannya sedang tidak focus. Hatinya gelisah teringat pemandangan yang baru saja disaksikannya di kantin.

          Saat matanya melirik Deni, terlihat anak itu sedang tersenyum-senyum sendirian. Makin yakin hatinya kalau Deni sedang merasa sangat bahagia. Perlahan dialihkannya tatapannya ke arah Marlinda. Sahabatnya yang sekarang sedang dimusuhinya itu terlihat sedang memperhatikan penjelasan bu Eka meskipun Putri yakin bahwa Marlinda tidak seratus persen memperhatikan pelajaran.

Dihelanya nafas perlahan. Ingin rasanya berbaikan dengan Marlinda, tapi dia merasa gengsi menegur duluan. Bukankah Marlinda yang lebih dulu menebar permusuhan dengannya? Huft, dengan langkah gontai dia permisi ke kamar mandi, sekedar ingin menghilangkan keresahan yang tiba-tiba terasa begitu menyesakkan dada.

 

********

Malam ini udara terasa demikian gerah. Marlinda berbaring di kamarnya sambil mendengarkan music dari handphone nya. Pikirannya terasa kacau, teringat akan tugas proyek kelompoknya  yang belum selesai. Ingin rasanya berbaikan dengan Putri, tapi hatinya merasa malu menegur duluan.

Setelah berbalik kiri kanan namun tak juga bisa tertidur, Marlinda meraih handphone nya. Iseng dibukanya facebook sekedar melihat-lihat pemberitaan terbaru.

Matanya terpaku ketika melihat foto Deni berdua dengan seorang perempuan terpampang di beranda facebook nya disertai caption,” sayang kamu banyak-banyak, sekarang dan selamanya”.

Keningnya berkerut memperhatikan foto tersebut. Loh, ini kan Shinta, siswa kelas 8A. Kok bisa mereka berpose semesra ini, ucapnya dalam hati. Terus,… apakah ini artinya mereka udah jadian? Bagaimana dengan Putri? Apakah Deni dan Putri sudah putus? Ataukah memang Deni dan Putri sebenarnya tidak berpacaran seperti dugaannya selama ini?

Begitu banyak pertanyaan yang ada di benaknya sehingga membuatnya lelah dan akhirnya tertidur dan membawa serta semua pertanyaan tersebut dalam mimpinya.

Keesokan paginya, Marlinda tiba lebih awal dari biasanya. Hatinya sudah bertekad pagi ini akan menegur Putri duluan. Capek juga kalau lama-lama bermusuhan. Mereka terlihat jadi asing satu sama lainnya. Permusuhan mereka membawa suasana kelas jadi murung. Tidak terdengar lagi canda dan tawa dari keduanya.

Tiba di depan pintu kelas, Marlinda terkejut melihat Putri sudah hadir duluan. Sahabatnya itu terlihat termenung sambil menopangkan tangan di dagu. Hmm,… kasihan Putri, pasti sedang memikirkan Deni, gumamnya dalam hati.

Dengan langkah ragu di dekatinya tempat duduk Putri.

“Put,…” tegurnya dengan suara pelan.

Putri terkejut lantas mendongakkan kepalanya. Dirinya tak yakin kalau Marlinda barusan menyebut namanya. Matanya mendelik menatap Marlinda seperti melihat hantu di siang bolong.

“Kok kaget gitu sih ngeliat aku?” tegur Marlinda lagi.

“Oh,…aku…aku kaget saja, soalnya tadi aku sedang melamun,” jawab Putri terbata-bata.

“Maafin aku ya,” Marlinda mengulurkan tangannya. “Aku ingin kita baikan seperti dulu lagi,” lanjutnya.

Putri berdiri dari duduknya. Tangan Marlinda ditepisnya, sebagai gantinya dia lantas memeluk erat sahabatnya itu. Matanya berkaca-kaca. Rasanya tak percaya kalau sahabatnya itu sudah kembali.

“Maafin aku juga ya,” ucap Putri sambil melepaskan pelukannya.

“Iya, kita sahabatan lagi ya seperti dulu,” Marlinda berkata sambil tersenyum.

“Tentu saja, tidak ada untungnya kita bermusuhan, yang ada kita sudah merugikan diri sendiri dan teman-teman kita yang lain,” ucap Putri lagi.

“Nanti sore kita langsung mengerjakan proyek Prakarya di rumahnya Intan ya?” ujar Marlinda bersemangat.

“Tentu, kita harus dapat nilai tertinggi,” ucap Putri tak mau kalah. Marlinda tersenyum mendengar jawaban Putri, lantas ditariknya lengan sahabatnya itu untuk duduk di sampingnya. Rasanya sudah bertahun-tahun tidak mengobrol dengan Putri, padahal baru tiga minggu mereka tidak saling bertegur sapa.

“Eh, Put, kamu sudah putus ya dengan Deni?” akhirnya keluar juga pertanyaan yang sedari tadi ditahannya.

Wajah Putri langsung terlihat muram, senyum seketika hilang dari wajahnya yang manis. Perlahan dia menggelengkan kepalanya.

“Aku gak putus kok dengan Deni, Lin…,” ucapnya perlahan.

“Loh, aku lihat status Deni di facebook dia udah jadian dengan Shinta anak kelas 8A?” sahut Marlinda dengan ekspresi bingung.

Putri tersenyum pahit, lantas melemparkan pandangannya keluar kelas.

“Aku tidak putus dengan Deni karena memang kami tidak pernah jadian alias kami tidak berpacaran,” jelas Putri sambil tertunduk.

Marlinda kaget mendengar jawaban Putri.

“Jadi selama ini kalian bukannya berpacaran?” tanyanya penasaran.

Putri menggelengkan kepalanya.

“Aku saja yang ke ge-er an selama ini, Lin. Aku berfikir dia suka sama aku karena sering mengajak aku jalan, sehingga aku sering meninggalkan kamu. Ternyata dia cuma menganggap aku teman, gak lebih dari itu,” ucap Putri dengan nada sedih.

“Hmm,… ya sudahlah kamu jangan sedih lagi ya, lupakan saja dia, toh masih banyak hal-hal penting lainnya yang harus kita pikirkan. Dari pada mikirin cowok, lebih baik kita mikirin pelajaran apalagi sebentar lagi kita mau ulangan umum,” sahut Marlinda berusaha menghibur Putri.

“Betul yang kamu katakan, Lin. Gara-gara cowok persahabatan kita sempat rusak. Gara-gara cowok pula nilai pelajaran kita jadi hancur,” lanjut Putri lagi.

“Makanya dari sini ke depan, kita tidak usah dulu deh mikirin cowok ya, yang ada bikin sakit hati. Kita fokus aja ke pelajaran sekolah, lagian umur kita belum pantas deh kayaknya,” ujar Marlinda sambil tersenyum geli.

“Iya Put, jangan sampai persahabatan kita rusak hanya gara-gara seorang cowok ya,” ujar Putri.

Marlinda menganggukkan kepalanya menyetujui ucapan Putri barusan. Teman-teman mereka yang lain terlihat mulai berdatangan satu persatu. Kelas jadi riuh ketika teman-temannya melihat mereka sedang mengobrol berdua.

“Cieee,… udah baikan ni yee. Gitu dong jangan marahan terus. Bukankah selama ini kalian terkenal sebagai pasangan sahabat sejati. Dimana ada Putri disitu ada Marlina,” Ferdi langsung berkomentar begitu melihat keduanya sudah duduk lagi satu meja.

Marlinda dan Putri tersenyum mendengar ucapan Ferdi. Dalam hati mereka membenarkan kata-kata Ferdi barusan.

“Nanti sore kita kumpul di rumah Intan ya Fer, kita harus ngebut menyelesaikan tugas proyek membuat perahu mainan,” ucap Marlinda.

“Setuju,” ucap Ferdi cepat.

Marlinda dan Putri saling berpandangan lalu tersenyum bahagia. Hati keduanya terasa begitu lega pagi ini. Beban yang mengganjal selama ini tearasa hilang begitu saja. Mereka baru menyadari bahwa persahabatan ternyata begitu indah dan berarti. Dalam hati masing-masing mereka berjanji bahwa persahabatan ini tidak boleh rusak oleh sebab apapun lagi.

Bel masuk berbunyi. Marlinda dan Putri bersiap-siap menyambut materi pelajaran hari ini. Terlihat senyum mewarnai wajah keduanya. Hilang sudah kedukaan dari wajah Putri. Sirna sudah kesedihan dari wajah Marlinda. Mereka seperti baru mendapatkan kado terindah hari ini. Yah,… memang tak ada yang bisa menandingi indahnya sebuah persahabatan.

 

Selesai

No comments:

Post a Comment