“AKU DAN
SEGELAS KOPI”
Kopi. Siapa yang tak kenal dengan minuman ini. Si
hitam pekat yang manis menawan hati. Minuman yang selalu dicari dan diminati
tua dan muda. Bila mendengar kata kopi aku terbayang masa kecilku dulu. Hampir
setiap pagi diajak oleh alamarhum ayah untuk menikmati kopi di warung kopi
terkenal di kota kecil kami, Bireuen, Aceh. Minum kopi harus di warung
tersebut, tidak boleh di warung yang lain. Meskipun kondisi warung sudah penuh sesak dipadati
pengunjung namun para pecandu kopi ini rela mengantri asalkan bisa minum kopi
di warung ini. Entah apa sebabnya akupun tidak mengerti karena pada saat itu
belum mampu menikmati segelas kopi meskipun kata ayahku sangat nikmat. Dibiasakan
setiap pagi minum kopi oleh ayah tidak lantas membuatku menjadi pecandu kopi.
Aku lebih sering memilih minum teh atau minuman yang lain pada saat itu.
Kecanduan ayah pada kopi inilah juga yang membuat
abangku kehilangan salah satu gigi depannya ketika pada suatu pagi diminta untuk membelikan kopi di warung kopi langganan ayah
tersebut. Ayahku pada pagi yang naas tersebut tidak sempat pergi ke warung kopi
seperti biasanya maka agar tidak kehilangan moment kebersamaan dengan kopi
langganannya tersebut maka disuruhlah abangku untuk membelinya. Mungkin karena
terburu-buru takut terlambat ke sekolah, abangku tak sengaja menyenggol motor
seorang pengendara hingga terpelanting ke jalan raya yang mengakibatkan dia
kehilangan salah satu giginya. Inilah peristiwa pertama yang membuat aku
terkenang akan dahsyatnya pengaruh si
kopi.
Ketika kakak tertuaku menikah dengan laki-laki dari
suku Gayo, maka jenis kopi favorit ayah pun berganti dengan kopi Gayo asli.
Buah kopi dari dataran tinggi ini sengaja dibeli langsung dari petani kopi
lantas disangrai sendiri oleh ibuku tercinta. Alasan ayah meracik sendiri kopi
tersebut karena kalau kopi yang ada dipasaran sudah mengalami perubahan rasa
karena dicampur dengan jagung atau bahan-bahan yang lain. Ayah menginginkan
kopi dengan cita rasa yang asli. Maka jadilah rumah mengepulkan asap yang
menyesakkan dada dan menusuk hidung bila ibu sedang menggongseng kopi sesuai
keinginan ayah. Pada saat itu aku benci aroma kopi tersebut karena kepulan
asapnya menyebabkan mataku perih. Ini peristiwa kedua yang menyebabkan aku
terkenang akan dahsyatmya pengaruh si kopi.
Selain mendatangkan
biji kopi langsung dari asalnya, ayahku juga suka menyeduh kopinya
sendiri di pagi hari sebelum berangkat ke kantor. Namun bila sore hari beliau sering menyuruhku
untuk membuatkannya secangkir kopi. Sering ayah membangunkanku yang sedang
tidur siang untuk membuatkannya kopi. Bila aku malas bangun maka ayah akan
menggelitik telapak kakiku agar segera terbangun. Pernah pada suatu sore saat
aku sedang nikmatnya dibuai mimpi, ayah membangunkanku untuk menyeduh kopi. Dengan
malas dan terkantuk-kantuk aku beranjak ke dapur untuk memasak air. Mungkin
karena rasa kantuk yang masih mendera, tak sengaja tanganku ketumpahan air panas. Ini peristiwa
ketiga yang menyebabkan aku terkenang akan dahsyatmya pengaruh si kopi.
Setelah menikah, kebetulan suami adalah seorang
perokok dan pecandu kopi. Setiap pagi tentu saja segelas kopi sudah kuhidangkan
di atas meja makan. Bukan hanya pagi hari, siang, sore bahkan malam haripun
suami sering minta dibuatkan segelas kopi. Kebetulan sumi bukanlah tipe laki-laki yang suka
mengopi di warung kopi, sehingga stok kopi selalu tersedia di rumah. Sering
bila suami menikmati segelas kopi, aku meminta tegukan terakhir untuk kuminum.
Selalu seperti itu. Entah mengapa aku malas menyediakan khusus untuk diriku
sendiri. Lama kelamaan akhirnya aku jadi menyukai kopi.
Sering bila malam menjelang dan suami belum bisa tidur
aku menemaninya mengobrol sambil tentu saja ditemani dengan segelas kopi. Meski
mata berat menahan kantuk namun terpaksa juga setia menemani suami mengobrol
hingga larut malam. Tak heran bila keesokan harinya kepala sedikit pusing
karena kurang tidur.
Namun pada suatu pagi segelas kopi yang terhidang
tidak disentuhnya sama sekali. Bukan
kebiasaan suami untuk tidak langsung meminum kopi selagi masih mengepulkan
asap. Dan pagi ini aku dibuat heran, ada apa gerangan sehingga si hitam manis
ini belum disentuh. Tak lama pertanyaanku terjawab ketika melihat suami keluar
dari kamar mandi dengan wajah pucat. Ternyata beliau baru saja muntah. Mungkin
masuk angin pikirku sambil mengoleskan balsem di punggungnya. Kusarankan ke
puskesmas sementara aku bergegas ke sekolah menunaikan tugas. Namun sorenya
suami mengatakan tidak usah lagi menyediakan kopi karena menurut dokter beliau
terkena asam lambung sehingga tidak diperbolehkan lagi meminum kopi. Terpaksa
dia berpisah dengan minuman kesayangan karena perut tak lagi mengijinkan. Ini
peristiwa keempat yang menyebabkan aku terkenang akan dahsyatnya pengaruh si
kopi.
Pada suatu pagi
aku membuatkan segelas kopi untuk
suami. Namun tiba-tiba tersadar bahwa suami sudah tidak minum kopi lagi. Merasa
sayang dibuang maka si kopi pun kuminum sedikit demi sedikit. Kok rasanya
nikmat ya, bathinku hingga akhirnya isi gelas itupun tandas masuk ke perut.
Sejak saat itu kopi merupakan minuman yang selalu tersedia di atas meja, bukan
untuk suami tapi untukku sendiri. Rupanya memang aku tidak bisa jauh dari
minuman ini, meski suami sudah tak lagi meminumnya kini gantian akulah yang selalu
setia menyediakan segelas kopi di atas meja untuk diriku sendiri.
Inilah peristiwa ke lima yang ingin kukisahkan kepada
para pembaca bahwa dengan kedahsyatan kopi juga aku mampu menghadirkan tulisan
ini di hadapan para pembaca. Betapa tidak, dengan bantuan segelas kopi, aku
mampu bertahan di depan notebook selama 3 jam nonstop untuk mengejar deadline
tulisan yang sekarang hadir di hadapan para pembaca. Itulah kedahsyatan kopi
yang kurasa.
SELESAI
Lhokseumawe, 9 Februari 2018
No comments:
Post a Comment