Cerita Pendek (Cerpen) - SMP Negeri 12 Lhokseumawe

Breaking

Thursday, October 8, 2020

Cerita Pendek (Cerpen)


 

Teman Baru

Namaku Wirda. Aku sering dikatakan teman-teman sombong, padahal aku tidak merasa seperti itu. Aku malas saja berbicara yang tidak penting. Aku suka ke perpustakaan sekolah membaca buku-buku cerita, namun kata temanku aku suka menyendiri. Memang apa enaknya membaca ramai-ramai? Kesannya jadi berisik dan ujung-ujungnya pasti aku tidak bisa menikamati bacaanku.

Hari ini saat jam istirahat seperti biasa aku langsung melenggang masuk ke perpustakaan. Bu Husna penjaga perpustakaan melempar senyum manisnya ketika melihat aku masuk.

“Mau baca buku apa hari ini, Wir?” tanyanya ramah.

“Mmmmm, saya lihat-lihat dulu ya bu,” sahutku sambil mataku berkeliling melihat kea rah rak buku. Kakiku langsung kulangkahkan kearah rak buku yang berada di pojok perpustakaan. Tetapi tiba-tiba mataku terpaku ketika melihat sudah ada seseorang yang menempati tempat yang biasa kududuki. Aku berfikir keras siapa gerangan anak perempuan ini. Sepertinya aku tidak pernah melihatnya beredar di sekolah ini sebelumnya, apalagi berada di perpustakaan ini.

Aku langsung mendekati bu Husna.

“Siapa anak itu buk?” tanyaku perlahan.

“Oh, dia anak baru di sekolah kita. Dia masuk ke kelas 8 dua, di sebelah kelas kamu,” jawab bu Husna menghapus kebingunganku.

“Siapa namanya buk?” tanyaku lagi

“Aduh kamu ini gimana sih. Pergi dong kenalan sana,” jawab bu Husna tak menghiraukan pertanyaanku. Beliau terlihat mencatat sesuatu di buku besar, kelihataannya sibuk dan tak ingin diganggu lebih lama dengan pertanyaan-pertanyaanku.

Memang dasarnya aku pemalu jadi aku tidak berani menegur gadis itu duluan. Setelah mengambil buku yang ingin kubaca, aku segera duduk di lantai, lesehan seperti biasanya. Tak kusangka ternyata anak perempuan itu menghampiriku.

“Namaku Dina, kamu siapa?” tanyanya ramah sambil mengulurkan tangannya. Aku terperangah kaget, tak menyangka akan ditegur lebih dulu olehnya.

“Eh..aku..aku..namaku Wirda,” sahutku tergagap sambil tersipu malu.

“Kamu kelas berapa,” tanyanya lagi.

“Aku kelas 8 satu,”  jawabku. “Kamu kelas berapa,” tanyaku pura-pura tidak tahu.

“Aku kelas 8 dua. Berarti kelas kita bersebelahan dong. Ntar waktu pulang sekolah kita bareng ya,” jawab Dina antusias. Aku mengangguk perlahan. Meskipun aku tidak tahu rumahnya dimana dan arah kemana, aku tetap mengiyakan ajakannya. Setelah selesai menghabiskan bacaan kamipun kembali ke kelas masing-masing.

Setelah lonceng pulang sekolah berbunyi, aku buru-buru keluar kelas. Aku menunggu Dina di depan pintu kelasnya. Tak lama terlihat Dina keluar dari kelas sambil tersenyum. Kami berjalan beriringan menuju pintu gerbang sekolah.

“Rumah kamu dimana,” tanyaku pada Dina.

“Di ujung jalan ini kan ada belokan ke kiri. Setelah melewati mesjid ada persimpangan, belok kekiri lagi. Nah rumah aku gak jauh dari persimpangan itu, sekitar lima rumah deh dari ujung. Aku tidak tau nama kampungnya apa karena kan aku baru di sini.” Jelasnya panjang lebar. Aku tersenyum mendengar jawabannya.

“Oh iya, rumah kamu dimana?” Tanya Dina.

“Rumahku di sebelah kampung kamu Din. Nama kampungku Beringin, sedangkan nama kampungmu Seroja menurut denah rumah yang kamu jelaskan padaku tadi,” jawabku.  

“Oh,…begitu ya,” sahut Dina mengangguk-angguk. “Bearti kita tidak searah ya?” tanyanya lagi. “Iya Din, kita berpisah du ujung jalan ini. Kamu belok ke kiri sedangkan aku ke kanan. Sampai ketemu besok ya,” jawabku. Dina melambaikan tangannya dan kamipun berpisah. Baru tiga langkah aku mendengar Dina berteriak.

“Wirda,…ntar sore main ke rumahku ya? Kamu kan sudah tahu rumahku. Oke?” pintanya. Aku berpikir sejenak. “Baiklah, nanti sore aku kerumahmu,” jawabku tidak ingin mengecewakannya. Dina tersenyum senang lalu berbalik dan berjalan menuju kearah rumahnya.

Sorenya setelah menyelesaikan semua tugas-tugas rumah aku bergegas menuju ke rumah Dina. Tidak sulit menemukan rumahnya, karena beberapa temanku juga tinggal di daerah itu. Setelah beberapa kali mengetuk pintu dan mengucap salam, seraut wajah muncul di balik pintu. Seorang perempuan sebaya ibuku melihatku dengan tatapan tajam.

“Mencari siapa?” tanyanya kurang bersahabat.

Aku terkejut mendapat pertanyaan ketus seperti itu.

 “Mmmm, saya temannya Dina, bu. Saya ingin bertemu Dina,” jawabku.

“Masuklah, Dina ada di belakang,” katanya sambil membukakan pintu. Aku berjalan di belakangnya. Di bagian belakang rumah terlihat Dina sedang menyapu halaman. Melihat aku datang dia langsung menghampiriku.

“Wirda,” serunya girang. “Aku tidak menyangka kamu mau datang ke rumahku. Tunggu sebentar ya, aku selesaikan pekerjaanku sedikit lagi, terus kita ngbrol-ngobrol deh,” lanjutnya lagi.

 Aku mengangguk mengiyakan. Aku lantas duduk di bangku panjang di bawah pohon nangka menunggu Dina menyelesaikan pekerjannya. Selesai menyapu Dina memberi makan ayam dan bebek lantas dilanjutkan dengan mencuci piring.

“Kamu gak capek mengerjakan pekerjaan itu semua?” tanyaku ketika kami sudah berada di dalam kamarnya.

 Dina tersenyum lantas menjawab,” Capek sih capek, Wir. Tapi mau bagaimana lagi. Masih untung aku diperbolehkan tinggal di sini,” lanjut Dina. Aku terperangah mendengar jawaban Dina.

“Memangnya ini rumah siapa, Din?” tanyaku lagi.

“Ini rumah pamanku, adik ibuku yang paling kecil. Aku menumpang tinggal di sini,” jelas Dina perlahan. Wajahnya terlihat sedih.

Memangnya orang tuamu di mana Din. Mengapa kamu tidak tinggal bersama mereka,” tanyaku tanpa berusaha menutupi rasa keingintahuanku.

“Ayah dan ibuku berpisah setahun yang lalu. Awalnya aku ikut ibu dan tinggal bersamanya. Namun setelah dua bulan ibu memutuskan untuk pergi ke Malaysia mencari pekerjaan. Aku lantas tinggal bersama ayah, tapi pada saat itu ayah sudah menikah dengan perempuan lain yang sudah memiliki dua orang anak. Aku tidak tahan tinggal dengan mereka, Wir. Setiap hari selalu saja ada yang salah denganku, padahal semua pekerjaan rumah tangga sudah aku lakukan dengan baik. Ayah sering bertengkar dengan ibu tiriku karena membelaku. Aku jadi merasa tidak enak. Lantas aku mengalah dan memutuskan untuk tinggal bersama paman atas saran dan nasehat dari ibu,” lanjut Dina sambil mengusap airmatanya.

 Aku terharu mendengar kisahnya. Kusentuh tangan Dina sambil berucap,” Jangan sedih ya Din. Banyak kok teman-teman kita yang bernasib sama seperti kamu. Yang penting kamu harus tetap semangat menjalani hidup kamu,” kataku sok menasihati.

Dina tersenyum menatapku. “Terimaksih ya Wir, kamu sudah mau jadi temanku. Terimakasih juga kamu sudah menasihatiku. Aku akan berusaha tetap ceria menjalani hari-hariku. Aku bertekad akan belajar sebaik mungkin. Aku ingin menjadi orang sukses. Aku ingin menggapai cita-citaku. Ibu sudah berjanji akan terus mendukungku untuk meraih cita-citaku. Ibu berjanji akan terus membiayaiku sampai ke perguruan tinggi asalkan aku rajin belajar,” sahut Dina mantap sambil menatap ke luar jendela kamar.

“Nah, gitu dong. Jangan sedih lagi ya, suatu saat kamu pasti akan berkumpul lagi dengan ibumu,” kataku memberinya semangat. Dina mengangguk mengiyakan.

“Aku pamit dulu ya Din, sudah hampir magrib. Besok-besok aku main ke rumahmu lagi,” pamitku pada Dina.

“Terimakasih ya Wir sudah mau main ke rumahku dan sudah bersedia jadi temanku,” sahut Dina senang.  

Aku mengangguk sambil tersenyum. Setelah berpamitan dengan bibinya aku lantas pulang dengan perasaan senang karena sudah mempunyai teman baru.

Ketika baru saja melangkahkan kaki masuk ke rumah tiba-tiba terdengar suara dengan intonasi yang cukup tinggi.

” Wirda! Darimana saja kamu hah!”  teriak ibu tiriku berdiri sambil berkacak pinggang.

Aku menghela nafas sambil bergumam dalam hati. “ Ah Dina, ternyata nasib kita sama. Sama-sama tidak memiliki keluarga yang utuh. Bedanya kamu masih memiliki ibu kandung meskipun hidup berjauhan, sedangkan aku sudah tidak memiliki ibu lagi karena beliau sudah berpulang ke pangkuanNya sekitar empat tahun yang lalu.”

“ Eh bukannya langsung masuk malahan bengong disitu”, teriak ibu tiriku lagi.

Perlahan aku masuk dan menutup pintu di belakangku. Bergegas aku ke belakang menyiapkan makan malam untuk kami sekeluarga. Biarlah Dina tidak tahu tentang kehidupan keluargaku. Suatu saat aku juga akan menceritakannya, tapi tidak sekarang karena Dina terlihat masih sangat sedih berpisah dengan ibunya. Yang penting kini aku sudah memiliki sahabat baru yang bisa kuajak untuk bertukar pikiran dan berbagi cerita.

Aku tersenyum senang membayangkan hari esok yang lebih menyenangkan yang akan kulewati.

 

 

 

SELESAI

 

 


5 comments: